Peneliti Ungkap 4 Jenis Burung Kakatua Indonesia Terancam Punah, karena Perdagangan Ilegal?

  • Bagikan
Ilustrasi.Burung kakatua/IST

Mediatani – Sebuah studi yang melibatkan para ahli dari Australia dan Amerika Serikat tela menganalisa perihal data perdagangan ilegal burung kakatua asal Indonesia yang terjadi sepanjang dua dekade ke belakang ini.

Data yang dipelajari itu pun mencakup perdagangan ilegal di Asia Tenggara.

Namun, Indonesia dianggap satu negara bahkan di dunia yang mana paling membutuhkan konservasi untuk populasi kakatua miliknya.

Seperti yang dipublikasikan dalam jurnal Biological Conservation terbit Kamis, 20 Mei 2021, yang dilansir dari laman Tempo.co, bahwa studi ini menemukan beberapa alasan kunci burung kakatua berisiko jadi korban perburuan.

Dua yang terutama adalah daya tarik keluarga burung bernama latin Psittaciformes ini dan ironi penegakan hukum yang tetap membuka ruang untuk memperdagangkan jenis-jenis kakatua ini secara bebas.

“Termasuk dalam daya tarik burung kakatua adalah warna bulunya, ukuran tubuhnya, dan kemampuan menirukan suara lain,” kata Rob Heinsohn, profesor di Fenner School of Environment and Society, The Australian National University, Canberra, dalam keterangan tertulis yang dibagikan bersamaan dengan publikasi jurnal, dikutip dari situs yang sama.

Akibatnya, sepertiga dari hampir 400 jenis burung kakatua di dunia kini telah berstatus terancam punah.

Dari jumlah itu, 89 di antaranya berada di Indonesia. Dan yang mana empat jenis berstatus terancam dan dua sangat terancam atau critically endangered alias satu tahap sebelum benar-benar dinyatakan punah di alam liar.

“Tingginya permintaan sebagai burung peliharaan dan penangkapan dari habitat liar untuk diperdagangkan telah berkontribusi besar untuk menurunnya jumlah populasi burung kakatua di dunia,” kata Heinsohn.

Namun demikian, Heinsohn mengungkap pula catatan dari hasil studi bahwa sekalipun perdagangannya cukup luas, jenis-jenis burung kakatua tak berisiko sama menjadi korban perburuan.

Tim peneliti, lanjut dia, menggunakan model kriminalogi populer untuk menganalisis faktor-faktor yang be-relasi dengan jenis kakatua yang diperdagangkan di Indonesia.

Dari enam sumber data yang digunakan, ada 31 jenis atau 34 persen dari seluruh jenis kakatua yang ada di Indonesia yang kerap diperdagangkan.

Keenam sumber data berupa pasar perdagangan kakatua yang tersebar di Maluku dan Maluku Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta Raya, dan Medan Sumatera Utara.

Selain faktor kunci daya tarik jenis tertentu dan perdagangan yang masih relatif bebas, ada pula alasan lain yang ditemukan ikut mendukung kakatua mudah saja diburu untuk diperdagangkan.

Faktor itu adalah habitat yang berada di wilayah dengan populasi manusia yang semakin tinggi.

“Itu semua menuntun kepada dugaan bahwa faktor-faktor berbasis permintaan dan peluang secara bersama dapat menerangkan sebagian dari perdagangan ilegal kakatua di Indonesia,” kata ketua tim studi, Stephen Pires, profesor dari Department of Criminology & Criminal Justice, Florida International University, AS.

Sementara itu, karena cukup tingginya permintaan di dalam dan luar negeri memicu lahirnya banyak modus.

Modusnya ialah dengan melabeli jenis tangkapan liar sebagai hasil penangkaran. Dampaknya, burung-burung kakatua bisa diekspor secara legal.

“Penegakan hukum yang lebih efisien sangat dibutuhkan,” kata Heinsohn sambil menambahkan strategi perlindungan sarang bisa diterapkan untuk mengurangi perdagangan burung kakatua.

“Termasuk pula melakukan edukasi dan kampanye konservasi yang menyasar anak-anak dan konsumen,” katanya menambahkan.

Selain Heinhson dan Pires, dua peneliti lainnya yang terlibat dalam studi ini adalah Dudi Nandika dari IPB University dan Dwi Agustina dari Perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia. (*)

  • Bagikan