Mediatani – Penggunaan antibiotik pada industri peternakan di Indonesia diketahui cukup besar. Dengan perkiraan total berjumlah 913,94 ton pada tahun 2030.
Di lain sisi, antibiotik yang digunakan secara tidak bertanggung jawab, memicu resisten mikroba sehingga muncul bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Bakteri resisten itu dapat menular ke manusia melalui makanan dan lingkungan.
Melansir, Rabu (7/4/2021) dari situs tribunnews.com, Juru Kampanye World Animal Protection Rully Prayoga mengatakan, antibiotik banyak digunakan untuk menangani infeksi maupun meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan hewan.
Antibiotik tak dapat digunakan sembarangan dan hanya diperuntukan sebagai kepentingan medis. “Antibiotik untuk doyan makan, bikin ternak cepat pertumbuhannya dan biasanya dicampur dalam air dalam pakannya,” kata dia.
Dia mencontohkan, penggunaan pada ayam broiler yang sering dikomsumsi manusia. “Ini harus dipastikan safe (ayamnya). Kontaminasi tidak hanya lewat makanan bisa juga air, udara tapi kebanyakan makanan,” ujarnya dalam Media Briefing: Bakteri Berbahaya Bagi Manusia, Senin (5/4/2021).
Ia mengatakan, hasil investigasi pihaknya pada beberapa saluran air umum di Kanada, Thailand, Spanyol dan Amerika Serikat telah menemukan gen bakteri resisten terhadap antibiotik.
Yaitu sefalosporin generasi ketiga, fluoroquinolones, colistin dan makrolida, yang saat ini menjadi perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Hal ini dapat menjelaskan bagaimana industri peternakan dapat menyebabkan gen pembawa bakteri kebal dan bakteri super yang berakibat fatal bagi manusia,” ungkapnya.
Bisa Bunuh 2,4 Juta Orang
Rully memaparkan, dalam laporan OECD memprediksi korban jiwa akibat bakteri super pada 2050 mencapai 2,4 juta jiwa. OECD mengklaim, Indonesia termasuk negara yang paling rajin mengomsunsi antibiotik untuk keperluan medis atau untuk kesehatan hewan di sekitar peternakan.
“Akibatnya muncul jenis bakteri baru yang kebal terhadap obat-obatan yang didesain untuk membunuhnya,” jelas Rully.
Bersama Brasil, China dan Rusia, saat ini 60 persen infeksi bakteri di Indonesia dinyatakan kebal terhadap satu jenis antibiotika.
“Fenomena antibiotika alias AMR ini dikhawatirkan akan semakin mengancam jika tidak ditanggulangi komprehensif,” ungkapnya.
Penyalahgunaan Antibiotik pada Hewan Ternak Ancaman bagi Kesehatan Global
Setiap November, dari tanggal 18 sampai dengan 24, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merayakan “Minggu Kesadaran Antimikroba Dunia”.
Peringatan itu bertujuan mengingatkan ancaman serius terhadap kesehatan publik akibat penyalahgunaan antibiotik dan obat antimikroba lainya.
Saat ini, kurang lebih 700.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit resistensi obat dan diprediksi jumlah korban tersebut akan mencapai 10 juta kematian setiap tahunnya sampai dengan tahun 2050 jika tidak ada tindakan yang diambil.
“Sistem pangan kita sangat tergantung pada produk hewani, dan industri peternakan merupakan salah satu faktor pendorong terpenting dalam resistensi antimikroba,” ungkap Fadilah, Communications and Corporate Engagement Manager Indonesia dari NGO Internasional, Sinergia Animal, Senin (16/11/2020), dikutip dari situs yang sama.
Berdasarkan studi yang dilakukan, Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah menunjukkan adanya kasus peningkatan resistensi yang signifikan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di beberapa negara, 80% konsumsi antibiotik yang penting secara medis ada di sektor peternakan.
Sejumlah laporan memperlihatkan tingginya volume dan penggunaan yang terlalu sering hingga menyebabkan munculnya superbug, – bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang tahan terhadap pengobatan antibiotik tradisional.
Hal inilah yang terjadi di industri peternakan, di mana jutaan hewan berdesakan, dan seringnya ditempatkan di ruang tertutup.
Berdasarkan Program Lingkungan PBB (UNEP) stress yang terjadi akibat dikurung, buruknya kondisi kebersihan, dan kurangnya variasi genetik diantara hewan-hewan tersebut menciptakan kondisi yang sempurna untuk muncul dan menyerbarnya penyakit baru.
“Dalam sistem sistem, para hewan-hewan tersebut biasanya menerima antibiotik, bukan untuk mengobati penyakit namun untuk mencegah penyakit, dan mendorong pertumbuhan yang lebih cepat bagi mereka.”
“Hewan ini dapat menjadi pembawa bakteri “superbug” yang kemudian dapat menginfeksi manusia,” jelas Fadila
Bagaimana superbug muncul di sekitar kita?
Ada beberapa cara penularan superbug ke manusia. Setelah muncul di industri peternakan, mereka dapat mencemari tanah, air, udara, atau makanan kita melalui kotoran hewan dan cairan lainnya.
Superbug dapat melakukan menyebar melalui udara
Sebuah studi dari University of Iowa menemukan bahwa bakteri yang resistensi terhadap antibiotik, yang disebut MRSA, mengambang di udara dua ratus meter mengikutiarah angin dari peternakan babi di Amerika Serikat.
Dalam penelitian lain, yang dilakukan oleh John Hopkins University, bakteri yang resisten terhadap antibiotik ditemukan di udara dalam mobil ilmuwan setelah mereka berkendara di belakang truk yang mengangkut ayam dengan dengan jendela terbuka.
Para pekerja dan masyarakat di sekitar industri peternakan dan di sekitar rumah jagal juga sangat terpengaruh.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh Center for Emerging Infectious Disease menemukan bahwa para pekerja di peternakan babi enam kali lebih rentan untuk membawa bakteri yang resisten terhadap antibiotik, yaitu multidrug-resistant dan methicillin-resistant (MDRSA).
Hal ini terjadi karena mereka bersentuhan langsung dengan daging, darah, kotoran, air liur, dan cairan tubuh lainnya dari hewan ternak.
Penduduk di sekitarnya pun dapat terkontaminasi melalui udara dan air yang berasal langsung dari fasilitas tersebut.
Negara berpenghasilan rendah-menengah cenderung memiliki masalah yang lebih banyak. Walaupun Organisasi Kesehatan Dunia telah merekomendasikan pengurangan antimikroba yang penting secara medis pada hewan yang dibesarkan untuk produksi makanan.
Namun situasi ini kemungkinan akan menjadi lebih kritis di negara-negara berpenghasilan rendah, di mana penggunaan antibiotik cenderung meningkat akibat pertumbuhan produksi produk hewani, dengan perkiraan peningkatan 67% pada tahun 2030.
Sebuah riset di tahun 2019, menemukan sumber berkembangnya resistensi antimikroba di beberapa wilayah di negara-negara bagian bumi selatan.
Di antara beberapa sumber tempat tersebut ada di Red River delta di Vietnam dan India bagian Selatan, yang juga dekat dengan Indonesia.
Di Indonesia, yaitu Pulau Jawa, pulau dengan populasi tertinggi di negara ini, juga terlihat titik peningkatan resistensi yang signifikan.
“Perubahan kebijakan diperlukan untuk mengatasi ancaman kesehatan masyarakat ini, dan hal inilah yang melatarbelakangi mengapa kami mendesak pemerintah Indonesia untuk melarang penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab dalam industri peternakan,” ungkap Fadila.
NGO Sinergia ANimal mengundang masyarakat Indonesia melalui petisi online change.org/pandemiindonesia. NGO Sinergia Animal juga memberikan solusi lain untuk permasalahan tersebut yaitu beralih ke pola makan yang berpusat pada sayuran, sebagai cara untuk membatasi permintaan produk hewani yang terus meningkat.
Mereka juga menantang netizen untuk hanya mengonsumsi makanan berbasis nabati. Mereka menyediakan email harian, tips, resep, dan dukungan oleh ahli gizi secara gratis untuk para peserta tantangan.
Pendaftaran dapat dilakukan di 21hariveg.org (*)