Mediatani – Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jatim dengan cuma-cuma membagikan sebanyak 500 ekor ayam dan 5 kwintal telur gratis untuk warga Kabupaten Malang.
Rupanya, hal ini terpaksa dilakukan sebagai bentuk protes mereka terhadap anjloknya harga daging ayam hidup di kalangan peternak.
Sekretaris Pinsar Jatim, Fathoni Mahmudi menuturkan bahwa timnya melakukan itu dikarenakan saat ini harga ayam hidup dari peternak lagi anjlok.
“HPP (Harga Pokok Penjualan) kami dari sarana produksi ayam yang kami pelihara untuk jadi ayam hidup ini Rp19.500 sementara harga jual jatuh di angka Rp10 ribu,” kata Fathoni, mengutip dari situs, radarmalang.jawapos.com.
Menurut dia, anjloknya harga ayam hidup itu dipicu kurang tegasnya pemerintah terhadap pengaturan suplai demand bibit ayam yang beredar. Olehnya, berdampak pada over stok. Akibatnya, harga ayam di level peternak turun drastis.
“Di kandang, ayam hidup hanya Rp10 ribu. Sehingga daripada kami jual juga rugi, sementara masyarakat untuk dapat meningkatkan imunnya masih beli dengan harga tinggi,” kata dia.
Ia menyebut, penurunan harga ini hanya dirasakan di kalangan peternak UMKM saja. Sementara, harga juga daging ayam mati di pasar, masih terbilang stabil, atau berada di angka Rp35 ribu per kilo.
Fathoni mengaku kini telah banyak peternak ayam yang gulung tikar karena merugi. Sehingga Pinsar Jatim meminta agar ada perhatian dari pemerintah untuk bisa dapat mengontrol dalam pengimplementasian perundang-undangan dan Permentan nomor 32 tentang perlindungan peternak rakyat skala UMKM.
Permintaan ketegasan ini, disebutnya lebih cenderung mengarah pada Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) di bawah Kementerian Pertanian. “Pengaturan suplai demand yang tidak sempurna di level peternak, membuat pelaku UMKM seperti kami mengalami kerugian yang sangat besar,” ucapnya.
Pihaknya berharap, pemerintah pusat bisa peduli terhadap para warga yang mempunyai usaha peternakan ayam. Dengan cara lebih dapat mengatur stok, sehingga harga daging ayam hidup bisa kembali stabil.
Jika fenomena seperti ini terus terjadi, dia bilang bukan tidak mungkin jika akhirnya banyak peternak ayam yang akan semakin bangkrut, karena biaya operasional dan penjualan tidak seimbang.
“Kami berharap ini segera menemukan solusinya, sehingga UMKM seperti kami ini bisa hidup kembali,” harap Fathoni.
Di sisi lain, Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, ternyata memengaruhi penjualan hewan kurban.
Bahkan, tercatat cenderung menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya.
“Lebaran besar kali ini memang mengalami penurunan. Permintaan tidak sebanyak dahulu,” kata peternak kambing, Saim Soimun di Boyolangu, Tulungagung mengutip dari Antara, Rabu (14/7/2021).
Sebelum pandemi, Saim yang sudah memiliki jaringan pelanggan serta agen penjualan di beberapa wilayah Tulungagung biasanya bisa menjual 100 sampai 150 ekor kambing.
Namun, jelas dia, seiring serangan gelombang dua Covid-19, dia memperkirakan kambing yang bisa terjual maksimal hanya 30 ekor saja.
“Kondisi saat ini, kami hanya mampu menjual separuhnya saja,” ujar dia.
Padahal, setiap musim kurban, biasanya dirinya sudah menyiapkan sekitar 150 kambing untuk kurban. Ia menyebut kisaran harga untuk 1 ekor kambing bervariasi, mulai dari Rp2,5 juta hingga Rp5 juta/ekor, tergantung pada besar kecilnya kambing.
Harga ini, menurutnya, telah mengalami kenaikan sekitar Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per ekor dibanding tahun sebelumnya. Kondisi itu lantaran, sepinya penjualan hewan kurban ditambah dengan dibatasinya hajatan.
Padahal saat bulan besar penanggalan Jawa yang bersamaan dengan bulan Zulhijah, penanggalan Komariah merupakan bulan hajatan.
“Dalam bulan ini, masyarakat Jawa menganggap sebagai bulan baik untuk hajatan,” ujar dia.
Dalam hajatan, biasanya mereka menyuguhkan masakan berbahan daging, baik sapi maupun kambing. Namun, kata dia, orang hajatan juga dibatasi. (*)