Peternakan Babi di China Sebabkan Harga Kedelai di Indonesia Meroket

  • Bagikan
Shi Hongwei memberi makan babinya di desa Xiaoxinzhuang, provinsi Hebei. | REUTERS / Dominique Patton foto

Mediatani – Peternakan babi di China disebut menjadi salah satu penyebab meroketnya harga kedelai dalam negeri. Hal ini diungkapkan Menteri Perdagangan RI, Muhammad Lutfi.

Dilansir dari situs berita Kumparan.com, Senin, (11/1/2021), Lutfi mengungkapkan, meroketnya harga kedelai dalam negeri karena dari sisi permintaan, di China. Permintaan kedelai meningkat akibat dari Peternakan Babi di China sementara memulihkan kondisi mereka dampak dari wabah Flu babi yang menyerang peternakan tersebut pada 2019-2020 lalu.

Pemusnahan besar-besaran babi di China yang sebelumnya terjadi menyebabkan kebangkitan peternakan babi di sana untuk memulihkan kembali kondisi mereka. Hal itu membuat permintaan kedelai berskala besar sebagai bahan pakan babi terjadi secara besar-besaran.

Akhirnya berimbas pula pada permintaan kedelai. Dia bahkan menyebut permintaan kedelai di China melonjak dari biasanya atau hingga dua kali lipat.

“Jadi dari 15 juta biasanya permintaan di sana naik menjadi 28 juta permintaan. Ini menyebabkan harga yang tinggi,” ujar Lutfi di sela-sela konferensi virtualnnya, Senin, (11/1/2021).

Faktor lainnya, tutur Lutfi, ialah perihal penawaran.

Dia melanjutkan, harga tinggi akibat adanya hambatan distribusi terhadap pasokan import dari luar negeri. Apalagi 90 persen pasokan kedelai di Indonesia ialah hasil impor yang berasal dari negara Brasil dan Amerika Serikat.

Menurut Lutfi, melejitnya harga kedelai itu menyentuh level tertinggi dalam 6 tahun belakangan.

“Jadi Bapak dan Ibu sekarang ini harga kedelai itu USD 13 per rumpunnya dan ini adalah harga tertinggi dalam 6 tahun terakhir,” ujar Lutfi.

Selain karena distribusi, harga kedelai melonjak akibat cuaca buruk yang terjadi di Amerika Latin. Sehingga itu memperburuk hasil panen kedelai di negara Brasil dan Argentina.

“Yang pertama adalah gangguan cuaca El Nino di Latin Amerika yang menyebabkan basah di Brasil dan Argentina. Yang kedua diperparah Argentina yang mengalami kemogokan. Jadi kalau kemarin itu mogoknya di sektor distribusi sekarang ini mogoknya di pelabuhan,” ujarnya.

Meski begitu, dirinya memastikan bahwa persediaan kedelai untuk Indonesia masih aman dalam 3-4 bulan ke depan.

“Karena di sini adalah tugas pemerintah menjembatani antara importir dan perajin dan pedagang, saya janji kepada keseluruhan stakeholder kacang kedelai ini akan terjadi pembicaraan yang khusus antara mereka antara saya, perajin, dan importir,” tandasnya.

Sebelumnya, seperti yang diberitakan Mediatani.co, pakan ternak dikabarkan ikut terdampak dari harga kedelai impor yang naik.

Dilansir dari Bisnis.com, Direktur Pemasaran PT CJ Feed and Care Indonesia, Haris Muhtadi mengatakan kenaikan harga biji kedelai turut berpengaruh pada harga bungkil kedelai, by product kedelai. Karena bahan ini menjadi salah satu bahan utama pakan ternak.

Disebutnya, untuk pakan udang dan ikan misalnya, komposisi bungkil kedelai ada berkisar 30 sampai 35 persen.

“Dari segi pasokan sejauh ini cukup dan tidak langka. Namun memang kenaikan harga biji kedelai berkorelasi ke harga bungkil kedelai,” kata Haris, Senin (4/1/2021).

Dengan begitu, dirinya menuturkan, guna menyiasati kondisi sulit itu, pabrik atau industri harus menaikkan harga jual di kisaran 4 sampai 5 persen.

“Tidak ada pilihan lain sehingga kami naikkan harga,” kata dia.

Sementara itu, santer terdengar bahwa gagasan untuk menggantikan impor sendiri hakikatnya telah banyak yang menyuarakan.

Apalagi, tambah dia, seiring berkembangnya riset dalam memanfaatkan bahan baku lokal agar ketergantungan dari bungkil impor bisa dikurangi. Meski dia mengutarakan, hambatan terbesarnya adlah perihal keberlanjutan pasokan dan bahan baku alternatif itu.

“Riset sudah dilakukan dan memang ada potensi substitusi. Tetapi kendalanya di kapasitas industri pemasok, bagaimana pasokan dan kuantitasnya ini belum diketahui,” kata Haris. (*)

  • Bagikan