Oleh: Masluki (*
Beberapa hari belakangan ini, kita disuguhkan dengan berita tidak sedap penangkapan salah satu Kepala Desa Meunasah Rayeuk di Aceh Utara sebagai pengedar benih illegal. Tidak tanggung – tanggung kabar penangkapan terlanjur menjadi trending topik dan viral di media sosial hingga menjadi pro kontra.
Sebagai profesi yang terlanjur berorientasi agribisnis, petani padi selalu berharap menghasilkan produksi yang tinggi melampaui hasil sebelumnya. Secara nasional, rata – rata produksi padi hanya mencapai 5,7 ton/ha. Kemudian di Aceh, benih Indonesian Farmer 8 (IF8) berhasil dibudidayakan petani dan mencapai produksi 11, 9 ton/ha (hasil ubinan).
Fakta tersebut tentunya membuat benih ini menjadi semakin digandrungi oleh petani. Boleh jadi, dikembangkan benih ini oleh petani dibeberapa kabupaten di Aceh merupakan titik balik dari anomali produksi benih padi bersubsidi maupun pasar bebas.
Tidak hanya di Aceh, Tahun 2018 silam, di Cianjur, demplot benih padi IF 8 mampu menembus 11.5 ton/ha hasil ubinan yang sebelumya hanya 5 ton/ha. Capaian tersebut mengantarkan petaninya meraih predikat petani terbaik di Kabupaten Cianjur hingga Provinsi Jawa Barat.
Prestasinya tentu diikuti oleh sejumlah fasilitas sebagai hadiah dari pemerintah. Hingga benih padi IF8 menjadi primadona di daerah tersebut. Kemungkinan benih tersebut telah beredar luas karena merupakan padi inbrida yang dapat ditanam turun-temurun jika dilakukan isolasi jarak dan waktu dengan varietas padi lain.
Secara subtantif, benih merupakan jantung produksi, jika salah dalam memilih benih maka sebesar apapun input faktor produk tidak akan meningkatkan produksi. Benih memiliki batas potensi produksi yang tidak dapat diubah karena bagian dari ekspresi genetiknya. Kecuali melalui proses rekayasa genetika dan pemuliaan tanaman yang membutuhkan waktu bertahun – tahun.
Disisi lain, cekaman lingkungan baik biotik ( hama dan penyakit) maupun abiotik (kekeringan, genangan, salinitas, kimia) merupakan penghambat produksi tanaman. Tentunya sangat sulit menghasilkan satu varietas yang memiliki toleransi terhadap semua cekaman tersebut. Boleh jadi disatu wilayah varietas tertentu akan toleran terhadap salah satu cekaman, namun didaerah lain tidak tahan karena faktor agroklimatnya. Sehingga perlu dilakukan uji multilokasi untuk melepas dan menyebarluaskan salah satu varietas.
Kekawatiran pemerintah akan tersebarnya hama dan penyakit penyakit secara masif dan tidak bisa dikendalikan tidak dapat disalahkan untuk melindungi petani dan pangan secara nasional. Sesuai dengan Permentan RI No. 56/Permentan/PK.110/11/2015 Tentang Produksi, Sertifikasi, dan Peredaran Benih Bina Tanaman Pangan dan Tanaman Hijauan Pakan Ternak.
Pemerintah memberikan jaminan mutu atas benih yang telah disertifikasi. Melalui kebijakan tersebut, diharapakan melahirkan kedaulatan benih. Benih memiliki peran strategis dalam menunjang produksi dan keberlanjutan pangan di masa depan. Mengapresiasi hasil karya petani sebagai aktor terdepan dalam membangun kedaultan pangan membutuhkan pembinaan dan pendampingan.
Seyogyanya petani memiliki kemerdekaan dalam menentukan jenis tanaman pangan yang akan dibudidayakan. Jika perlu, setiap desa yang memiliki penangkaran benih padi tersendiri spesifik lokasi sehingga petani memiliki kemandirian atas benih.
Keengganan petani untuk melegalisasi benih hasil kreasinya menimbulkan tanda tanya publik. Apakah persoalan berbelit – belitnya birokrasi dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendaftarkan benihnya. Ataupun adanya praktek monopoli dalam bisnis benih. Boleh jadi fenomena ini merupakan puncak gunung es dari persolan yang mendasar di sistem perbenihan kita yang perlu dibenahi. Peristiwa ini mungkin hanya contoh kecil yang menyeruak di depan publik. Namun, mungkin masih ada banyak persolan yang belum terungkap. Wallahu a’lam bish shawab. //
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor