Opini Oleh: Dirhana Purnama, S.P., M.P.
Dosen Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Sulawesi Barat
Tingginya permintaan bahan pangan khususnya beras, tidak terlepas dari pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Thomas Robert Malthus dalam Essay on Population tahun 1798 pernah mengingatkan betapa timpangnya pertumbuhan penduduk dibanding kemampuan penyediaan bahan pangan. Akan tetapi, berbagai upaya yang dilakukan hanya terfokus pada peningkatan produksi, tanpa pernah berfikir bagaimana perilaku (behavioral) konsumsi manusia saat ini yang bisa saja dikelola untuk mengurangi laju konsumsi.
Titik kritis dalam perdebatan antara kapasitas produksi dan perilaku konsumsi berada pada apalah artinya produksi tinggi jika begitu banyak yang terbuang. Perilaku konsumsi masyarakat kita memang masih banyak yang menyisakan makanan atau bahkan membuang makanan yang masih layak dikonsumsi. Hal ini bukanlah masalah yang sesederhana jika menghitung berapa banyak nasi yang terbuang setiap kali kita makan. Tetapi, mari berhitung, jika rata-rata nasi yang tersisa sebanyak satu sendok nasi per porsi dalam setiap hari lalu dikalikan dengan ratusan juta penduduk yang melakukannya, maka hasilnya adalah ratusan sendok nasi terbuang percuma.
Sejatinya, makan adalah aktifitas untuk memenuhi kebutuhan energi bagi setiap makhluk hidup utamanya manusia. Energi dibutuhkan untuk menunjang aktifitas manusia sehari-hari. Hal ini harus menjadi pertimbangan, antara kebutuhan energi ideal setiap individu dan besarnya kebutuhan bahan pangan yang dikonsumsi untuk mencukupi.
Jika hal tersebut berlebih, permasalahan lainnya akan muncul. Energi berlebih tersebut akan tertimbun dalam tubuh manusia dan selanjutnya menjadi pemicu timbulnya berbagai gangguan metabolisme dalam tubuh dan menjadi sumber penyakit.
Perilaku konsumsi dalam Theory of Reasoned Action (TRA) menyebutkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh niat, sedangkan niat dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Ajzen (1985) menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). Menurut teori ini, sikap dan norma adalah hal yang paling berpengaruh dalam perilaku. Sehingga untuk mengendalikannya maka penguatan norma dan sikap kita di meja makan harus mulai direvolusi.
Norma berkaitan erat dengan nilai yang kita yakini, sedangkan sikap adalah hasil implementasi dari sistem nilai yang diyakini. Saya mengajak pembaca untuk menyandarkan pada nilai yang lebih universal yaitu menyandarkan pada penghargaan pada proses yang terjadi dibalik penyediaan bahan pangan. Nilai ini seringkali menjadi nasehat oleh orang tua dulu bahwa setiap bulir nasi yang tersisa akan bersedih. Pernyataan ini aneh namun jika menelisik maknanya, maka yang sebenarnya bersedih adalah petani yang berkeringat dalam memproduksi.
Pilu Petani Dibalik Penyediaan Bahan Pangan
Padi merupakan manifestasi dari Sang Hyang Sri. Inilah pentingnya beras bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan bagi masyarakat Sunda pada khususnya. Salah satu kebutuhan pokok adalah beras, makanan yang terbuat dari bulir beras yang diperoleh dari pengolahan beras atau serealia.
Lantas apa hubungannya menghormati petani dengan menghindari pemborosan beras? Berdasarkan hasil survei mini yang dilakukan penulis, seorang buruh tani dibayar Rp. 35.000 untuk menanam padi dari pukul 06.00 sampai 12.00, atau ungkapan di desa disebut Bedugan. Artinya, seorang buruh tani hanya dibayar Rp. 6.000/jam.
Sebagian besar terjadi di industri tanpa kompensasi atau tunjangan. Namun, beberapa orang menawarkan kompensasi atau tunjangan dalam bentuk rehat kopi dan makan siang. Biasanya ada juga yang mengisi perutnya dengan cemilan sekitar pukul 11.00. siang hari
Proses yang dilakukan oleh petani dan petaninya dimulai di Babut. Dalam proses ini, benih padi yang sudah siap tanam dipindahkan dari pembibitan (Pawinian) dengan cara mengikat benih agar mudah dibawa ke tempat penanaman. Areal tanam juga harus diberi tanda (berbatasan petak tanam). Kemudian biji yang sudah terikat dipotong agar nantinya bisa berbunga kembali dan cepat tumbuh. Proses selanjutnya adalah bibit yang dapat diaplikasikan ke sawah dan selanjutnya ditanam oleh para pekerja perkebunan (kebanyakan ibu-ibu).
Usai babut yang bisa berlangsung sekitar dua jam, otomatis mereka berhenti untuk istirahat sejenak dan sarapan pagi. Sarapan sederhana yang dicampur dengan lelucon ibu pejuang akan sangat menyentuh hati Anda. Tanpa mereka, orang mungkin tidak bisa menikmati nasi yang disajikan di atas meja. Kalaupun ada, hanya bisa didapat dari beras impor yang tentu saja semakin membebani negara.
Apresiasi Pada Petani Pejuang Pangan
Apresiasi petani melalui sekedar insentif produksi sampai harga beli rasanya tidak cukup jika mengingat beratnya proses produksi yang dilakukan petani. Perilaku konsumsi kita pun sebenarnya dapat menjadi bentuk apresiasi yang begitu menyentuh hati petani. Ini bukan sekedar tentang rasa yang tersirat pada pangan tetapi tentang apa yang tak dirasakan oleh konsumen namun dirasakan oleh petani.
Dengan berbekal kearifan tradisional, nilai yang ingin mereka raih ialah yang mereka sebut “Doa kehidupan” seperti yang telah penulis ceritakan. Oleh karena itu penulis berharap pembaca sekalian untuk tidak membuang-buang nasi. Mari bersama untuk bisa merenung dan melakukan hal kecil guna membalas jasa mereka dengan makan secukupnya dan tidak membut nasi menjadi mubadzir. Hargai para petani dengan tidak membuang nasi.
Mengendalikan konsumsi sama saja mengendalikan laju peningkatan kebutuhan pangan dalam skala lebih luas. Kita bisa memulainya dari diri kita, di meja makan. Dukungan keluarga dengan penyamaan persepsi atas nilai ini juga akan memudahkan replikasi perilaku keluarga kita di meja-meja makan keluarga lainnya.
Akhirnya apa yang kita lakukan ini tidak sekedar memberikan apresiasi pada petani, tetapi kita dapat menekan laju peningkatan kebutuhan pangan yang beriring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Tindakan ini juga mampu mengacaukan perhitungan yang diprediksikan oleh Thomas Robert Malthus sebagaimana telah disebutkan di atas. Hingga pada akhirnya, kapasitas produksi bahan pangan bisa mengejar laju kebutuhan bahan pangan dunia.