Mediatani – Dampak dari perubahan iklim terus dirasakan di berbagai belahan dunia, baik itu dengan munculnya bencana alam hingga beberapa tempat yang tenggelam. Namun, isu penting ini kerap diabaikan oleh sejumlah besar negara.
Kondisi ini semakin parah dengan aktivitas manusia yang merusak lingkungan seperti pembukaan daerah hijau untuk perumahan, penebangan pohon besar-besaran, hingga polusi udara yang terus dibiarkan.
Menanam pohon dianggap sebagai salah satu cara untuk menekan masalah polusi udara. Namun, kurangnya lahan terbuka untuk melakukan penanaman membuat upaya ini sulit dilakukan. Karena itu, rumput laut dianggap menjadi solusi alternatif untuk menyerap karbondioksida.
Dilansir Mediatani dari medium. com, Selasa, (4/5/2021), rumput laut merupakan salah satu jenis tanaman air yang memiliki kemampuan tumbuh yang tergolong cepat, yaitu sekitar 45 hari masa tanam. Kemampuan tumbuh itu bahkan bisa sekitar 30 kali lebih cepat dari tanaman darat.
Sementara, pohon yang ditanam membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa mencapai ukuran dewasanya. Pertumbuhan rumput laut yang cepat ini juga menyebabkan penyerapan karbon dioksida yang jauh lebih cepat.
Menurut sebuah penelitian internasional, lautan yang seluas 48 juta kilometer persegi dan samudra di dunia ini dinilai cocok sebagai tempat menumbuhkan rumput laut. Cukup dengan memanfaatkan 0,001 persen dari area itu, sudah dapat mengimbangi emisi karbon dari seluruh industri akuakultur.
Air laut yang memiliki kandungan nutrisi yang melimpah dipompa dari kedalaman ke daerah kontinental dangkal di zona fotik, kemudian dimanfaatkan oleh tanaman rumput laut. Selain itu, karena kemampuan rumput laut menyerap karbondioksida dari laut, hal ini membuat keasaman pada air laut menjadi berkurang.
Sekitar 95 persen rumput laut yang ada di dunia saat ini merupakan produksi dari Asia. Dengan kelebihan tersebut seharusnya bisa membantu mengatasi isu lingkungan yang terjadi, seperti perubahan iklim terutama di Asia.
Ada Kelemahan
Rumput laut yang tumbuh pada setiap kedalaman yang berbeda terus mengalami peningkatan setiap minggunya. Pada proses pertumbuhan rumput laut, ia bisa berperan sebagai penyerap karbondioksida dari perairan laut dan menyimpan karbon tersebut.
Meski demikin, United Nations Environment Programme (UNEP) mengatakan bahwa aktivitas yang dilakukan manusia ternyata telah merusak rumput laut ini, dengan hamparan seluas lapangan sepak bola menghilang setiap 30 menit di seluruh dunia.
Reuters melaporkan, para ilmuwan kini terus mengejar waktu untuk melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan rumput laut yang tersisa. Banyak yang belum diketahui, termasuk berapa banyak rumput laut yang tersisa.
“Jika Anda melihat data pemetaan rumput laut ini, banyak yang sudah kosong,” ungkap ilmuwan Universitas Oxford, Gwylum Rowlands.
Berbeda halnya dengan lamun, rumput laut merupakan jenis alga multiseluler yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki jaringan pembuluh, sedangkan rumput laut tumbuh di bagian pangkal dan memiliki akar, batang dan daun. Keduanya juga memiliki kemampuan reproduksi yang berbeda, struktur, dan cara mereka memproses nutrisi dan melarutkan gas.
The Journal of Nature Geoscience menyampaikan, rumput laut berperan penting dalam mengendalikan lingkungan laut, dan mampu menyimpan lebih dari dua kali lebih banyak karbon dioksida per mil persegi daripada hutan belantara di daratan.
Negara-negara yang berharap memperoleh kredit dalam mengurangi emisi karbon dioksida dapat mengevaluasi rumput laut dan karbon yang disimpannya.
Mekanisme itu dianggap lebih berpotensi menyerap lebih banyak karbondioksida dari atmosfer ke laut. Namun, hal ini bukan tidak memiliki kekurangan. Pasalnya, rumput laut yang membusuk akan kembali melepaskan karbondioksida tersebut kembali ke laut dan atmosfer.
Andai ada cara untuk menpertahankan karbon yang tersimpan dalam rumput laut untuk jangka panjang, hal ini bisa menjadi sistem penyeimbang emisi karbon skala besar. Cara ini biasa disebut dengan penarikan karbon, dimana sejumlah karbon dapat dikeluarkan secara permanen dari peredaran.
Emisi karbon yang dapat diimbangi hanyalah satu setengah dari tantangan iklim, menghentikan emisi karbon baru sangat penting untuk mengubah laju pemanasan global. Budidaya rumput laut merupakan upaya besar dalam mengatasi tantangan iklim.
Menurut laporan NASA pada 2020, karbondioksida yang ada di planet Bumi sudah mencapai tingkat tertinggi, yaitu lebih dari 650.000 tahun. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi penggantian kerugian karbon skala besar yang efisien.