Mediatani – Normalnya, Bulan Juni sudah memasuki periode musim kemarau dan merupakan hal yang wajar terjadi jika suhu udara meningkat hingga membuat banyak orang merasa gerah. Namun, bagaimana jika hujan masih kerap turun di musim kemarau? Normalkah kondisi tersebut?
Melansir dari CNN Indonesia (14/06/2022), peneliti Meteorologi BMKG Deni Septiadi menjelaskan bahwa meski memasuki periode musim kemarau, bukan berarti tidak terjadi hujan sama sekali.
Dalam menentukan periode musim di Indonesia, BMKG menggunakan beberapa kriteria. Indikasi untuk musim kemarau adalah jumlah atau intensitas curah hujan yang minim atau rendah seperti 1 dasarian di bawah 50 mm atau hari hujan yang semakin berkurang jumlahnya.
Beberapa peneliti juga mengamati aliran angin Siberia-Australia atau sebaliknya yang mengalami perubahan sebagai kriteria penentuan musim. Aliran angin yang biasa disebut aliran monsun atau angin monsun itu secara periodik berubah arah setiap 6 bulan.
Saat ini aliran angin yang datang didominasi dari Australia menuju Siberia yang memang cenderung lebih kering, sehingga dapat dikategorikan sebagai musim kemarau di Benua Maritim Indonesia.
Lebih lanjut, Deni menjelaskan bahwa secara spesifik proses terjadinya hujan menjadi proses kompleks dinamika atmosfer yang memiliki banyak faktor dan parameter.
Bukan hanya itu, keanekaragaman kekasaran permukaan di wilayah Indonesia nyatanya juga memberikan banyak pengaruh dalam proses konvergensi hingga terjadi alih radiatif konvektif dalam pengangkatan massa udara dan menjadi awan sempurna.
Beberapa permukaan wilayah di Indonesia terbagi menjadi beberapa bentuk pola, di antaranya ada yang di pesisir, dataran rendah, pegunungan, bahkan termasuk daerah perkotaan dan pedesaan.
“Karena itu, terkadang satu wilayah lebih basah sementara wilayah lainnya cenderung lebih kering,” sebut Deni.
Menurutnya, sepanjang adanya aerosol atmosfer, baik dari debu, garam-garaman laut serta partikulat lainnya, maka potensi tumbuh awan tetap ada.
Saat ini, suhu muka laut di Indonesia disebut masih cukup hangat dengan kisaran anomali antara 0.1 hingga 0.3 derajat celcius dan dengan indeks La Nina 3.4 moderat -0.58 yang mengindikasikan konektivitas cukup tinggi.
Meskipun hari hujan (HH) mengalami penurunan, intensitas hujan sedang-lebat bahkan ekstrem masih berpotensi terjadi. Pada musim-musim peralihan (Maret-April-Mei, MAM) atau kemarau (Juni-Juli-Agustus, JJA) pemanasan permukaan akan sangat sempurna untuk pengangkatan.
Lebih lanjut, Deni menjelaskan bahwa awan-awan yang terbentuk pada fase ini bahkan seringkali menjadi sangat menjulang dengan suhu puncak awan mencapai -80 derajat celcius.
Jika dikaitkan dengan perubahan iklim, secara umum kondisi tersebut akan mempengaruhi karakteristik labilitas atmosfer yang memberikan dampak pada potensi bencana hidrometeorologi yang semakin masif dan membahayakan aktivitas manusia.
“Pergeseran musim juga bisa menjadi indikasi nyata perubahan iklim yang harus menjadi perhatian kita bersama,” tutup Deni.