Mediatani – Spirulina merupakan suatu jenis ganggang atau alga hijau biru yang sering ditemukan baik pada perairan tawar maupun asin. Mikroalga ini sudah sering dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan baik untuk hewan maupun manusia.
Namun, dalam proses pembuatannya sebagai bahan pangan fungsional dan pemanfaatannya ke dalam makanan manusia (level food grade) diperlukan standar yang tinggi. Sehingga, bahan ini sulit diolah dalam usaha skala rumah tangga untuk memenuhi kriteria tersebut.
Salah satu perekayasa Madya dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara Lisa Ruliaty mengungkapkan bahwa Unit Pembenihan Udang di BBPBAP Jepara telah memanfaatkan fungsi Spirulina sebagai bahan pengkaya pada pakan segar bagi induk udang windu.
Selain itu Spirulina ini juga digunakan sebagai pakan tambahan dalam pemeliharaan benih windu dan vaname. Dari pemanfaatan spirulina tersebut, lanjut Lisa, telah memberikan pengaruh yang baik bagi peningkatan fekunditas induk udang windu dan peningkatan sintasan benih.
Khusus pembibitan ikan hias yang dilakukan di tingkat pembudidaya ikan, pemanfaatan tepung Spirulina ini telah banyak dimanfaatkan dan mampu meningkatkan kecerahan warna bagi ikan hias.
Sayangnya, kata Lisa, kebanyakan produk tepung Spirulina yang dipergunakan pembudidaya ikan itu didatangkan dari India dan Cina alias diimpor. Untuk itu, perlu dilakukan pengembangan teknologi produksi tepung Spirulina secara sederhana agar pembudidaya ikan dapat secara mandiri menyediakan kebutuhan pakan tambahan mereka.
“Produksi tepung Spirulina secara sederhana merupakan rangkaian kegiatan mulai dari kultur, pemanenan hingga pengeringan dengan lemari pengering sederhana. Kegiatan ini dapat dilakukan pada skala rumah tangga dengan menggunakan media kultur air tawar maupun air payau,” ujar Lisa.
Terapkan Prosedur Operasional Standar (POS)
Untuk mendapatkan sel Spirulina yang digunakan sebagai bahan baku tepung, ada beberapa tahapan yang terlebih dulu perlu dilakukan kultur di bak beton, bak fiber, kolam terpal, ember maupun galon air dengan volume media sesuai dengan sarana yang tersedia.
Lisa menjelaskan, proses kultur tersebut meliputi persiapan alat dan bahan, pemupukan dan inokulasi bibit hingga perawatan kultur. Mempersiapkan salinitas untuk melakukan kultur Spirulina pada salinitas 12 – 15 ppt atau dengan menambahkan NaCl sebanyak 0,8 g/l bila kultur dilakukan pada media air tawar dan penambahan air tawar bila kultur dilakukan pada media air laut.
Air media diberikan chlorine sebesar 30 ppm untuk disterilisasi. Setelah 24 jam, media dinetralisasi dengan natrium thiosulfate sebanyak 10 – 15 ppm, setelah itu baru dapat digunakan sebagai media kultur Spirulina.
Pupuk yang digunakan untuk menumbuh kembangkan sel yaitu pupuk kimia, seperti Urea (80 ppm), SP-36 (40 ppm), ZA (20 ppm), EDTA (5 ppm), FeCL3(1 ppm) dan Vit.B12 (0,001 ppm). Pupuk tersebut selanjutnya dilarutkan dengan air dan di masukkan ke dalam media kultur.
Bibit yang diberikan untuk kultur Spirulina dengan kepadatan awal >10.000 sinusoid/ml atau sebanyak 10% – 20% dari volume media kultur dilakukan setelah pemupukan. Cahaya matahari dengan intensitas berkisar 3.000 lux (12 jam terang:12 jam gelap). Kemudidan kultur diaduk dengan cara pemberian aerasi.
Berdasarkan hasil analisa proximat yang dilakukan terhadap produk tepung Spirulina dari lemari pengering sederhana, kandungan protein yang ditunjukkan cukup tinggi yaitu 63,44 % berat kering serta kandungan asam lemak esensial Eicosapentaenoic acid(EPA) sebesar 0,0013 %b/b dan Docosahexaenoic acid (DHA) sebesar 0,0002 %b/b.
Pemanenan dan pengeringan
Lisa menjelaskan, ada beberapa tahapan dalam pemanenan, ketika sel Spirulina sudah dalam fase pertumbuhan, panen dilakukan dengan menggunakan plankton net dan saringan dengan meshsize 30 mikron yang di jahit seperti kantong.
Pada wadah bak beton atau bak fiber, saringan diikat pada lubang pembuangan fiber yang sudah dipasangkan kran, kemudian kran dibuka hingga Spirulina yang terdapat di bak habis. Selain itu juga dilakukan dengan menggunakan pompa celup agar proses pemanenan sel lebih cepat.
Proses panen dengan cara menyaring dilakukan dengan saringan berbahan kain satin karena bentuk sel Spirulina berbentuk filamen atau benang, dimana sel berpilin yang berbentuk seperti spiral dengan ukuran sel yang lebih besar dibandingkan dengan jenis fitoplankton yang lainnya.
Untuk mereduksi komponen media kultur, biomassa yang diperoleh kemudian di bilas dengan air tawar sebanyak 2-3 kali. Biomassa yang terkumpul ini biasa disebut dengan pasta atau jel. Selama seminggu pasta disimpan pada freezer atau dapat langsung dikeringkan untuk diproduksi menjadi tepung Spirulina selanjutnya.
Untuk melakukan proses pengeringan, pasta terlebih dahulu ditimbang kemudian ditipiskan di atas loyang yang telah dilapisi plastik mika. Ketebalan biomassa Spirulina maksimal 0,5 cm atau diatur sebanyak 100 g pada tiap plastik.
Setelah ditipiskan, biomassa kemudian ditempatkan pada lemari pengering sederhana untuk melalui proses pengeringan. Lemari pengering sederhana ini dapat dibuat sendiri dengan menggunakan lemari triplek yang dilapisi dengan styrofoam.
Lemari pengering sederhana ini dipasangkan lampu bohlam 40 watt sebanyak 8 buah dan exhause fan agar udara panas dari lemari dapat keluar. Lemari pengering kemudian diatur hingga menghasilkan suhu 600C.
Bisa juga memasangkan alat timer otomatis untuk mengatur suhu lemari pengering pada suhu 60 oC selama proses pengeringan berjalan. Dalam waktu <24 jam, biomassa Spirulina dalam lemari tersebut akan menjadi kering.
Spirulina yang telah mengering itu berbentuk lempengan, kemudian diambil untuk dilakukan penimbangan. Spirulina yang telah kering dibuat menjadi tepung dengan menggunakan peralatan sederhana, seperti mesin blender. Setelah diblender, tepung disaring untuk mendapatkan butiran tepung yang lebih halus.
“Tepung Spirulina halus tersebut kemudian disimpan menggunakan aluminium foil dan di vacum siller supaya kedap udara sehingga dapat tahan lama dan tidak berjamur,” jelas Lisa.
Penerapan Teknologi
Beberapa pelaku usaha yang telah menerapkan teknologi ini adalah pelaku pembibitan ikan hias dan ikan lele yang ada di Kab. Bandung dan Kab. Purworejo. Mereka melakukan modifikasi pada proses pengeringan pasta Spirulina, pengeringan dilakukan secara langsung dibawah sinar matahari dalam ruangan tertutup beratap transparan.
Produk pasta yang dihasilkan digunakan dalam media kultur pembibitan ikan, sedangkan tepung yang dihasilkan digunakan sebagai bahan campuran dalam pakan pembibitan maupun pembesaran ikan.
Lisa menuturkan bahwa beberapa keunggulan yang dimiliki dari teknologi, yakni kultur Spirulina dapat dilakukan dengan menggunakan wadah bak beton, bak fiber, kolam terpal, ember maupun galon dengan volume media kultur.
Dengan cara yang sederhana ini, tambah Lisa, pembudidaya ikan maupun masyarakat luas mudah dikelola dengan skala rumah tangga, tidak membutuhkan modal yang besar, dan memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan karena peluang pasarnya besar di level feed grade.