Mediatani – Untuk memastikan pabrik pada industri pengolahan yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan terus beroperasi sepanjang tahun, diperlukan adanya jaminan terhadap ketersediaan bahan baku untuk produk yang akan diolah.
Keinginan jaminan terhadap ketersediaan bahan baku itu disampaikan oleh sejumlah asosiasi pengolahan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IV DPR RI yang berlangsung di Jakarta, Rabu, (31/3).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia, Pontas Tambunan, mengungkapkan bahwa saat ini industri rumput laut masih kekurangan bahan baku. Menurutnya, hal tersebut terjadi akibat banyaknya rumput laut mentah yang diekspor.
Pontas juga mengutarakan bahwa sebenarnya sudah dibuat road map atau peta jalan untuk komoditas rumput laut, di mana target pemerintah yaitu mengekspor rumput laut bahan mentah sebesar 60 persen, dan olahan rumput laut sebanyak 40 persen.
Untuk itu, tambahnya, pihaknya menginginkan agar rencana tersebut dapat dijaga. Ia juga bersyukur dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
PP yang merupakan salah satu aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja itu, terdapat pengaturan tentang neraca komoditas sehingga dianggap ada keberpihakan terhadap industri dalam negeri dan diharapkan dapat berjalan dengan baik.
“Neraca komoditas yang telah ditetapkan dapat dievaluasi sewaktu-waktu jika diperlukan, untuk ditetapkan kembali melalui rapat koordinasi yang dihadiri pejabat pimpinan tinggi utama/madya. Neraca komoditas dapat diakses melalui sistem informasi terintegrasi,” tulis Presiden Joko Widodo dalam beleid yang ditandatangani 2 Februari 2021 tersebut.
Perwakilan dari Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) Sadarma juga menyampaikan bahwa kendala dan hambatan pertama yang dihadapi oleh asosiasi pengalengan ikan adalah masalah bahan baku.
Menurut Sadarma, kondisi nelayan susah melaut saat musim tertentu membuat hasil tangkapan ikan lebih sedikit dari biasanya. Maka dari itu, ia berharap agar pemerintah membuat kebijakan yang dapat memudahkan impor bahan baku ikan sehingga operasional pabrik pengolahan ikan bisa berjalan terus.
“Sekarang masih banyak ekspor gelondongan atau ikan utuh ke Thailand, jadi mereka yang mendapat nilai tambahnya,” ujarnya.
Dia juga mengapresiasi pemerintah atas dimasukkannya ikan kaleng sebagai salah satu unsur pangan dalam bansos, dan hal tersebut diharapkan dapat terus digunakan karena ikan kaleng dinilai bergizi tinggi, tahan lama, dan dapat mengatasi permasalahan stunting.
Ketua Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) Imza Hermawan mengatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan sangat membantu dalam hal kondisi jaminan mutu dan keamanan pangan di sektor perikanan.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPR RI Sudin berharap produksi komoditas rumput laut dapat ditingkatkan karena produk tersebut diprediksi bakal berguna sebagai pakan ternak sapi pada masa mendatang.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Hasan Aminuddin menyampaikan bahwa pihaknya memiliki semangat baru untuk turut memberdayakan budidaya perikanan nasional di berbagai daerah.
Sementara Anggota Komisi IV DPR RI Saadiah Uluputty mengingatkan asosiasi untuk tidak memberikan masukan yang keliru kepada kementerian atau pemangku kepentingan, seperti perlu melakukan impor ikan padahal jumlah tangkapan ikan dari nelayan melimpah.
Terkait impor pangan, Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta sebelumnya telah menjelaskan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melakukan implementasi sistem perizinan impor otomatis atau automatic import licensing import untuk menjaga ketahanan pangan.
Felippa mengutarakan bahwa pemeritah mengontrol impor pangan Indonesia melalui Quantitative Restrictions (QR), yang disebut juga kuota impor. Kuota impor Indonesia dikelola melalui sistem perizinan impor non-otomatis, dalam hal ini Kementerian Perdagangan memberikan izin impor dan kuota impor kepada importir yang telah terdaftar.