Mediatani – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta menyebutkan bahwa anggaran tahunan pada subsidi pupuk yaitu berkisar antara Rp 20-30 triliun. Meski begitu, pada faktanya produktivitas hasil pertanian masih dalam kategori rendah alias tidak sebanding.
Dilansir dari laman medcom.id, data dari USDA menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, produksi tanaman pangan padi dan jagung cenderung mengalami penurunan dari 47,8 juta ton pada 2016 menjadi 47 juta ton di 2020, dengan arti lain menyusut sebanyak 1,59 persen.
“Data menunjukkan tidak sebandingnya pengeluaran untuk anggaran dengan hasil yang dicapai. Dibutuhkan evaluasi supaya anggaran sebesar ini dapat mencapai peningkatan produktivitas,” ungkap Aditya Alta dalam keterangan resminya, pada Jumat (3/12/21).
Selama ini skema pemberian subsidi pupuk, menurutnya perlu dievaluasi. Hal ini bertujuan untuk menyasar para petani secara langsung serta mengubah pandangan mereka terhadap biaya dan manfaat penggunaan input.
Pasalnya, input pertanian yang berupa benih, pupuk, irigasi dan juga pestisida dinilai sangat penting untuk mendongkrak hasil produksi pertanian.
Menurut Aditya, dalam mewujudkan subsidi input pertanian yang optimal, ada berbagai cara yang dapat dilakukan. Salah satunya yaitu dengan mengganti subsidi pupuk untuk petani dengan pembayaran langsung berupa saldo untuk memastikan bantuan tepat sasaran dan memangkas middleman.
Perubahan skema ini bisa ditempuh dengan kajian atau dasar yang lebih jelas tentang penentuan besaran 0,1 hektar serta pendataan petani yang jelas.
Pelibatan aparatur desa dalam proses pendataan, verifikasi dan validasi Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) pun termasuk beberapa cara yang bisa dilakukan.
Setelah itu, dibutuhkan proses hukum untuk bisa mengubah UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang di dalamnya mengatur persyaratan mengenai jenis tanaman budidaya dan batas luas lahan dua hektare untuk bantuan pemerintah.
Meskipun begitu, usulan tersebut dinilai tidak cukup membantu untuk memeecahkan masalah tersebut bahkan hanya menambah mata rantai proses perencanaan subsidi pupuk.
“Sebagaimana dinyatakan dalam penelitian kami, seringkali keterlambatan atau kelangkaan pupuk bersubsidi dikarenakan lamanya proses perencanaan berjenjang ini, sehingga turut memengaruhi salah satu prinsip 6T yang dikemukakan, yaitu tepat waktu,” tambah Aditya.
Pihak CIPS kemudian merekomendasikan peningkatan secara transparansi juga ketepatan waktu dalam pemberian bantuan melalui penggunaan pembayaran langsung atau direct payment ke rekening penerima. Hal ini dinilai tidak membutuhkan waktu distribusi yang panjang seperti yang terjadi pada bantuan barang.
Selain itu, saldo bantuan juga perlu dipastikan agar tidak bisa ditarik tunai tetapi bisa dibelanjakan untuk semua jenis input berdasarkan kebutuhan para petani.
“Saldo bantuan juga harus dipastikan tidak dapat ditarik tunai tetapi bisa dibelanjakan untuk berbagai jenis input sesuai dengan kebutuhan dan dibelanjakan di mana saja jika infrastruktur seperti ketersediaan EDC mendukung,” pungkas Aditya.