Mediatani – Harga lada di tingkat pedagang pengepul, terutama di Provinsi Bangka Belitung belakangan ini melonjak naik, yakni berkisar Rp 90 ribu per kilogram. Harga tersebut sebenarnya sudah cukup untuk membuat petani mendapatkan keuntungan yang besar.
Hal itu juga membuat Satiman (68), salah seorang petani lada di Belitung tampak semringah. Terlebih, dia memiliki memiliki stok lada sebanyak 10 ton yang merupakan hasil panen dari 2018 dan 2020 lalu.
Hasil panen miliknya tersebut sengaja disimpan sampai mendapatkan harga yang lebih tinggi. Bahkan, Satiman masih menilai harga Rp 90 ribu per kg yang ada saat ini masih belum cukup memuaskan baginya.
“Tunggu seperti tahun 2015 lalu,” ungkap Satiman, dilansir dari Tribunnews, Senin (5/4/2021).
Ia menyebutkan bahwa harga lada pada 2015 lalu bisa menyentuh Rp 180 ribu per Kg. Namun harga lada sempat menurun menjadi Rp 45 ribu sampai akhirnya kembali naik menyentuh Rp 90 ribu.
Dengan harga Rp 90 ribu, uang yang bisa diperoleh Satiman jika dia menjual 10 ton lada miliknya itu diestimasikan sebesar Rp 900.000.000. Meski demikian, Satiman belum tergiur untuk mendapatkan uang yang nyaris Rp 1 miliar itu dan memilih menunggu harga yang lebih tinggi.
Petani lada yang biasa disapa Kakek ini, memiliki perkebunan lada seluas 4 hektare yang lokasinya berada di Jalan tembus Buluh Tumbang, Desa Buluh Tumbang, Tanjungpandan, Belitung.
Sejak bertani lada sejak tahun 2015, perkebunan milik Kakek itu sudah memproduksi puluhan ton lada. Namun, hasil produksi yang dipanennya sejak 2018 hingga sekarang tidak pernah dijualnya.
“Sudah empat kali panen tidak pernah dijual, karena harganya turun. Iya harga lada sudah mulai naik lagi ini, tapi kami belum jual, karena kemungkinan akan naik lagi,” ucap Kakek, Senin (5/4/2021).
Dari 10.000 pohon lada yang sebelumnya ditanam di area perkebunannya, kini hanya tinggal sekitar 5.000 pohon yang masih tampak berdiri kokoh. Ada banyak pohon yang sudah mati akibat terserang hama dan penyakit.
“Ya sekarang hanya panen buah penyelang saja istilahnya, tapi setiap hari masih dapat 10 ambong. Ini belum semua dipanen,” ungkap Kakek.
Kesulitan lain yang saat ini dihadapi selain karena penurunan harga beberapa tahun belakangan, yakni produksi pohon lada yang juga mengalami penurunan karena dampak dari serangan hama penyakit.
Pada tahun 2018 lalu, lada yang dipanen Kakek sempat mencapai 8 ton. Namun pada 2020 kemarin, ia hanya memanen sebanyak 2 ton saja. Menurutnya, memelihara lada lebih sulit dibanding saat menanamnya
Kakek berharap Pemerintah Pusat dapat memikirkan kondisi harga lada tersebut agar tidak terjadi penurunan. Sebab, tambahnya, penurunan harga akan membuat dampak pertanian yang sangat terasa.
“Kami mohon kepada menteri perdagangan, agar harganya mengalami kenaikan, karena kalau harganya kecil kita tidak makan, hanya cukup untuk beli pupuk saja,” bebernya.
Harga lada akan terus naik hingga tahun 2022
Harga lada diprediksi akan terus mengalami kenaikan hingga tahun 2022 mendatang. Salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan harga lada itu yaitu menurunnya hasil produksi pertanian.
“Harga segitu (Rp 85.000,- per Kg), sekitar satu bulan belakang dan dari awal tahun terus mengalami kenaikan dari segi harga,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Belitung, Destika Effenly, Senin (5/4/2021).
Menurtnya, hal yang mempengaruhi peningkatan harga lada ini, yakni karena adanya siklus yang disebut 7 hingga 10 tahun. Harga lada yang melambung tinggi terakhir terjadi pada tahun 2015 lalu, di mana harganya mencapai Rp 180.000 per Kg.
Berdasarkan data yang diperoleh pihaknya, siklus harga lada yang mengalami kelonjakan tinggi ini terjadi dari tahun 2006 – 2007, 1998, dan 2015. Kemudian siklus tersebut juga diprediksi terjadi pada tahun 2021 – 2022.
“Nah ini sudah mulai siklusnya terjadi. Ini tentu menjadi kabar baik bagi petani, dan saya berharap petani lada bertahan lah di lada, dan jangan sampai ditinggalkan. Agar bibit tidak habis, karena kalau di tinggal nanti sulit mencari bibit,” ujarnya.
Kualitas lada Belitung
Lada yang diproduksi di Belitung hingga hingga saat ini cenderung stabil dan menjadi incaran perdagangan ekspor. Oleh karena itu, tambah Destika, sekarang pihaknya tetap fokus pada pengembangan petani lada.
Pada tahun 2020, Pemerintah Provinsi memberikan bantuan kepada petani lada melalui dana APBN. Bantuan yang disalurkan berupa 125 hektare perluasan lahan dan bibit.
Kemudian ada juga bantuan dari Pemerintah Pusat berupa 160 bibit lada dalam lingkup satu hektar beserta pupuk dan obat-obatan. Selain itu, ada juga bantuan bersifat insentif yang diberikan untuk rehabilitasi lahan seluas 300 hektar.
“Itu bantuan Kementerian dan sekarang masih terus digarap. Paling banyak petani di Kecamatan Membalong dan Sijuk. Petani lama masih eksis, apalagi di Kecamatan Membalong, apapun terjadi mereka tetap menanam lada,” jelasnya.