Tak Sampai 2 Tahun Tanam Porang Bisa Cuan Rp3 Miliar, Begini Hitung-hitungannya

  • Bagikan
Ilustrasi/Petani porang/Foto; Antara/IST

Mediatani – Idris Tampubolon, petani dan pakar porang dari Porang Sleman Boy mengungkapkan jika ingin mendapatkan penghasilan lebih dari Rp3 miliar dari lahan 1 hektare dalam waktu tak sampai dua tahun? Maka tanamlah porang.

Ajakan Idris itu diungkapkannya di Forum Diskusi Porang di Pasar 12 Patumbak, Deli Serdang, Sumatra Utara, beberapa waktu lalu.

Pria kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, dan besar di Samarinda, Kalimantan Timur, ini penuh antusias menjelaskan potensi ekonomi budidaya porang.

“Saya sudah teliti itu di Sleman sampai tiga tahun dan pola itulah yang saya bawa ke Sumut. Dengan lahan satu hektare, katakanlah modal Rp360 juta, bisa hasilkan Rp 3 miliar keuntungan bersih dalam dua musim (18 bulan),” ujar dia, melansir, Selasa (13/4/2021) dari laman kontan.co.id.

Cara dapat untung dari porang 

Idris pun menjelaskan, bagaimana cara mendapatkan keuntungan lebih dari Rp3 miliar dari mengolah lahan satu hektare dengan tanaman porang.

Biaya pengolahan lahan sekitar Rp72,6 juta, pemupukan dan perawatan Rp45,6 juta, bibit dan upah tanam Rp163 juta, panen Rp28 juta, dan tenaga kerja Rp48 juta.

Dia menguturkan, pada musim pertama, hasilnya bisa mencapai Rp 300 juta. Di musim kedua naik menjadi Rp960 juta. Sementara hasil umbi basah dua musim Rp2 miliar, dengan total penghasilan Rp3,34 miliar.

Maka dari itu, pendapatan bersih dari total penghasilan dengan dikurangi modal adalah sebesar Rp2,98 miliar.

Idris menambahkan, dalam 1 hektare lahan, porang dengan pola Sleman Boy, yakni penanaman secara modern dan akal sehat ilmu pertanian, maka bisa menghasilkan 208 ton umbi dan 3,5 ton katak.

“Bandingkan dengan sawit. Satu hektare porang dengan Sleman Boy, hasilnya lebih banyak dibanding 100 hektare sawit yang umurnya 20 tahun maksimal,” ungkapnya.

Lalu, menanam porang tidak perlu ada penebangan liar karena tidak membutuhkan lahan luas seperti kelapa sawit. “Satu keluarga dapat Rp2 miliar tak sampai dua tahun, cukup 1 hektare,” kata dia.

“Bahkan, dengan lahan 400 meter persegi dengan modal Rp12 juta dalam dua tahun, bisa menghasilkan Rp120 juta,” ujar pria yang meninggalkan profesi sebagai konsultan pajak demi porang ini.

Namun demikian, Idris bilang, untuk berhasil dalam menanam porang, ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan. Selama ini, dia menerapkan cara modern dan akal sehat ilmu pertanian.

Oleh karena itu, mutu bibit haruslah yang baik, sehat, dan siap untuk ditanam. “Jangan pernah beli bibit karena harganya murah. Beli bibit yang bermutu,” tegasnya.

“Maka, dua hingga tiga tahun ke depan, saya yakin Sumut dengan memakai pola kita, akan bisa mendekati bahkan mengimbangi produksi Jawa Timur atau Jawa Tengah, karena kita punya hamparan luas,” imbuh dia.

Potensi pasar 

Edy Effendi, pemilik Porang Sumatera Boy, mengatakan, ada 13 negara yang menunggu produksi porang. Sumut saat ini ada sekitar 300 hektare lahan penanaman porang.

Dia mengaku memilih menanam porang karena tanaman ini sudah menjadi kebutuhan internasional. Ekspor porang sudah menembus Jepang, Korea Selatan, China, bahkan mulai berkembang ke Eropa, Amerika, dan Australia.

“Bisnis porang ini agak unik. Hilir menanti, hulu tidak ada. Luar negeri sudah menunggu porang dari Indonesia, tapi produksi sangat terbatas. Maka sangat menarik untuk kita investasi dan ini peluang untuk meningkatkan devisa,” kata Edy.

“Makanya, Menteri Pertanian dan Presiden mengangkat porang sebagai komoditas ekspor untuk dapatkan devisa negara,” ucapnya.

Edy sudah bekerjasama dengan Porang Sleman Boy setelah sebelumnya ia berkeliling di Jawa untuk melihat penanaman porang, menemui ahli porang yang memiliki banyak pola pengembangan.

Namun, ia menemukan hal yang berbeda pada Porang Sleman Boy karena Idris Tampubolon bekerjasama dengan peneliti.

“Penelitian porang ini paling banyak di UGM. Jadi yang dikembangkan Pak Idris didukung para peneliti, dan setelah itu hasil dari pengembangannya sangat signifikan sehingga menjanjikan,” ungkap Edy.

Dengan modal Rp12 juta saja dan lahan 400 meter persegi, tanaman porang bisa menghasilkan Rp120 juta untuk petani profesional. Sementara untuk petani pemula bisa menghasilkan Rp40 hingga Rp50 juta.

Menurut Idris, hal itu sudah dapat mengubah taraf hidup masyarakat. “Dari para pengamat ekonomi Indonesia, porang adalah bisnis jangka panjang, bukan musiman karena 80 persen untuk pangan, dan pangan untuk masa depan,” jelasnya.

“Secara kebetulan porang hanya bisa dikembangkan di Asia Tenggara. Jepang, untuk budidaya ini cost-nya tinggi. Begitu juga dengan China. Ini anugerah untuk Indonesia karena bisa tumbuh subur,” kata dia.

Bibit masih dari Jawa 

Soal ketersediaan bibit porang, untuk saat ini Sumut masih harus mendatangkannya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di dua provinsi itu, Idris menyebutkan, lahan penanaman porang sudah mencapai ribuan hektare.

Sedangkan Sumut masih sekitar 300 hektare dan baru dimulai satu-dua tahun terakhir. Sumut akan memiliki ketersediaan bibit pada tiga-empat tahun mendatang.

Idris menambahkan, saat ini sudah ada lebih dari 3 hektare lahan yang sudah siap ditanami porang, dan 4,9 hektare lagi akan mulai ditanami porang pada September mendatang. (*)

  • Bagikan