Mediatani – Di Indonesia, penyakit bulai menjadi salah satu penyakit yang kerap menyerang tanaman jagung. Untuk itu, penting bagi para petani untuk memahami cara penanggulangannya.
Untuk memahaminya, setidaknya ada tiga faktor yang harus diketahui oleh petani, yaitu karakter penyebab penyakit, kondisi lingkungan dan tanaman jagung itu sendiri.
Dosen Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB University), Widodo mengatakan, memahami karakteristik tanaman merupakan hal yang penting dalam pengelolaan penyakit bulai.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi narasumber dalam acara webinar Propaktani yang digelar oleh Direktoral Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian pada Kamis (02/06/2022).
Menurutnya, tanaman yang terakhir ditanaman, akan mengalami tingkat kerusakan yang biasanya lebih besar. Hal tersebut disebabkan karena petani belum memahami bahwa penaman jagung seharusnya diakukan secara serempak dalam suatu lahan.
Ia menerangkan, penyakit ini disebabkan oleh kelompok cendawan paslu dan protisra yang mirip seperti cendawan. Biasanya berasal dari spesies P. Philippinensis, Peronosclerospora maydis dan P. Sorghi.
Menurutnya, pada media buatan atau tanaman yang telah mati, parasit obligat tersebut tidak akan bisa tumbuh. Kemungkinan besar parasit tersebut terbawa oleh benih.
Terlebih lagi, P. Sorgi dapat tumbuh dan menginfeksi tanaman lewat perakaran dan dapat bertahan dalam tanah dibandingkan dengan parasit lainnya.
“Untuk itu, mengetahui jenis (patogennya) menjadi penting karena strateginya akan berbeda-beda,” ujar Widodo.
Selanjutnya, Widodo mengatakan bahwa pola penyebaran dari inokulumnya terbilang cukup luas. Sehingga apabila terbawa oleh benih, maka area penyebarannya akan membentuk kelompok terlebih dahulu lalu kemudian akan menyebar lebih luas.
Widodo menerangkan, ketika telah memasuki fase perkecambahan, fase kritisnya bisa muncul pada 30-45 Hari Setelah Tanam (HST). Apabila tanaman terserang pada umur tersebut, tanaman dapat dipastikan tidak akan menghasilkan tongkol.
“Hal ini yang kita khawatirkan bila jagung yang ditanam oleh petani merupakan benih jagung komposit kalau ditanam lagi dan tidak ada seleksi maka akan berbahaya,” terangnya..
Oleh karena itu, menurut Widodo, untuk menghindari penyebaran penyakit tersebut, seleksi benih perlu dilakukan. Ia menambahkan, udara sejuk dan basah dapat menjadi faktor yang bisa mempercepat penyebaran penyakit tersebut.
Selain itu, aplikasi dari pupuk N yang berlebihan dan unsur K yang kurang juga dapat memperparah penyakit tersebut.
Maka dari itu, menurut Widodo, penggunaan benih yang sehat, tidak menanam di area yang telah terserang, dan perlakuan Plant Growth Promoting Rhizobakteri (PGPR) bagi kasuburan tanah serta penanaman serempak dapat menjadi strategi yang bersifat preemtif,
“Tindakan preventif pada 30-45 HST dengan penyemprotan ekstrak bawang putih atau mimba, atau kompos. Bisa juga dengan fungsida berbahan aktif tembaga walau tidak terlalu disarankan,” ungkapnya.
Selanjutnya, Widodo menambahkan, bentuk tindakan responsifnya yaitu dengan eradikasi tanaman sakit yang diikuti dengan penyemprotan sebagai salah satu bentuk tindakan preventif.
Menurut Widodo, tanaman yang telah terserang penyakit tersebut harus dimusnahkan dan dikubur di dalam tanah atau dibakar.