Mediatani – Sejumah petani garam mulai merugi karena produksi mereka terganggu oleh iklim dan cuaca. Hal tersebut dialami oleh banyak petani garam di daerah Bali, tepatnya di Pantai Karangdadi, Desa Kusamba, Klungkung, Bali.
Pada dasarnya, ada beberapa produksi yang masih berjalan, namun tidak bisa berjalan maksimal. Hingga beberapa petani di daerah tersebut mengaku terpaksa menguras tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlebih mereka yang tidak bisa memproduksi garam sama sekali.
Hal tersebut sesuai yang dikatakan oleh Mangku Rena pada Senin (17/1/2022), “Produksi garam di pantai Karangdadi tidak bisa dilakukan secara maksimal. Hal tersebut terjadi sejak November 2021 lalu oleh karena tingginya curah hujan. Bahkan produksi garam tidak bisa dilakukan sejak Desember 2021 hingga Januari 2022.”
Curah Hujan Tinggi Bencana Bagi Petani Garam
Proses pembuatan garam memang membutuhkan panas matahari yang terus-menerus. Meskipun siang hari panas, hujan di malam hari akan menghambat produksi garam. Sehingga, para petani di Bali akhirnya terpaksa hanya mengandalkan stok garam yang ada saat ini untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Rena, produksi garam pada saat cuaca yang baik bisa mencapai 20 kg per hari. Tentunya tergantung jumlah lahan yang digunakan untuk produksi garam itu sendiri. Namun jika curah hujan tinggi, produksi garam akan terhenti dan tidak bisa dilakukan.
Salah satu petani garam Pantai Karangsari yang bernama Ketut Kaping menyatakan jika produksi garam pada seminggu terakhir ini tidak bisa dilakukan sama sekali. Penyebabnya sama, yakni curah hujan yang tinggi.
Masalahnya, dia tidak memiliki stok garam sama sekali di panen sebelumnya. Sehingga, dirinya hanya mengandalkan tabungan yang ada dan jumlahnya tidak terlalu banyak. Hal tersebut terjadi karena dia salah satu petani yang memiliki lahan produksi yang tidak begitu luas.
“Petani lain yang memiliki stok garam karena lahannya memang luas. Sehingga produksi garam per harinya banyak diproduksi sebelumnya. Sedangkan saya tidak memiliki lahan luas karena sebagian menyusut sebab abrasi. Pada cuaca normal, saya bisa produksi 10 kg garam per hari,” Kata Ketut.
Tidak Berani Menaikkan Harga Garam
Meskipun saat ini produksi garam tidak bisa dilakukan secara maksimal, para petani tidak berani menaikkan garam secara signifikan. Alasannya karena para petani takut para pelanggan kabur.
Terlebih, saat kondisi Covid-19 ini, tidak ada ekspor garam ke luar negeri. Sehingga, satu-satunya harapan adalah para pelanggan. Jika para petani dengan alasan cuaca menaikkan harga, maka kemungkinan besar para pelanggan akan kabur.
Beberapa petani garam mulai merugi seperti Ketut ini mengaku hanya bisa menaikkan harga di angka Rp11.000 hingga Rp12.000 saja per kilonya. Harga tersebut tidak jauh dari harga normalnya yakni Rp10.000 per kilo.