Upaya Petani Kopi di Lampung untuk Hadapi Perubahan Iklim

  • Bagikan
Petani kopi di lampung. Sumber: Mongabay)

Mediatani – Dampak perubahan iklim mulai dirasakan petani kopi di Pekon Sedayu, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.

Dilansir dari Mongabay, (15/1), Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan [Gapoktanhut] Lestari Sejahtera Rendy Hassarudin mengungkapkan bahwa hasil panennya menurun akibat cuaca yang tidak menentu dan curah hujan yang tinggi.

“Beberapa tahun lalu dengan perawatan seadanya, hasil penen kopi menjanjikan. Sekarang sangat jauh, untuk mendapatkan satu ton/hektar sangat sulit,” ungkap Rendy.

Gapoktanhut Lestari Sejahtera mengelola Kawasan Register 31 Pematang Arahan dengan menggunakan skema perhutanan sosial. Izin kelola tersebut mereka miliki sejak Desember 2019, untuk mengelola lahan sekaligus menjaga kelestarian alam.

Petani kopi lainnya yang juga merasakan hal serupa, Sutrisno, mengaku buah kopi kecil yang dihasilkannya rontok karena hujan dan angin

Di lahan seluas 1,8 hektar yang digarapnya, ia biasanya mampu menghasilkan 1,5 hingga 2 ton, tetapi tahun ini hanya 800 kg. Hal itu juga disebabkan oleh serangan hama penyakit yang makin beragam, mulai dari hama penggerek buah, penggerek batang, kerat daun, hingga kutu dompolan.

Namun, Sugriwo, petani sekaligus Ketua Kelompok Tani Hutan [KTH] Mancingan Atas, bisa mengantisipasi kondisi cuaca yang tidak menentu ini dengan caranya sendiri. Menurutnya, pengelolaan tanah harus dilakukan dengan benar agar hasil maksimal.

“Tanaman apapun kalau proses pengolahan tanahnya benar, hasil akan bagus,” ungkapnya.

Cara yang dimaksudnya yakni dengan membuat rorak di antara empat pohon kopi. Rorak tersebut dibuat untuk menyimpan air, menyediakan unsur hara, dan membuat kompos alami.

Rorak merupakan lubang-lubang buntu yang dibuat sejajar pada kontur bidang yang diolah. Rorak tersebut dibuat dengan diameter dan kedalaman sekitar 50 cm.

“Bila ada buah kurang bagus atau bekas pemangkasan ranting, dibuang ke lubang itu,” ungkapnya.

Di daerah tersebut juga dilaksanakan program Sekolah Lapang Pekon Sedayu yang menjadi media untuk membicarakan perubahan iklim dan hubungannya dengan budidaya kopi

Mariman, Pendamping Program Sekolah Lapang Pekon Sedayu mengungkapkan bahwa perlu adanya jalan tengah, seperti penerapan sistem agroforestri agar budidaya bisa dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian hutan.

Ia menjelaskan, perhutanan sosial adalah upaya yang dilakukan untuk menghasilkan karbon yang cukup melalui pohon bertajuk tinggi. Ini dilakukan untuk mengurangi laju air hujan sehingga menurunkan peluang gugurnya bunga kopi.

“Di musim kemarau, berfungsi menyimpan cadangan air dan menjaga kelembaban suhu,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Yayan Ruchyansyah, menjelaskan perhutanan sosial bertujuan menyediakan akses bagi masyarakat yang selama ini telah menggarap kawasan hutan. Legalitas bagi masyarakat di sekitar kawasan, guna mempermudah pembinaan.

“Hubungan menjadi dekat dan mudah memberikan masukan terkait teknis budidaya tanaman,” ujarnya, Jumat [17/12/2021].

Dijelaskannya, konsep pelestarian ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi hutan, tetapi tetap memperhatikan sisi ekonomi bagi masyarakat.

“Bila tanaman bisa sampai melakukan panen, artinya kondisi hutannya pasti sudah bagus. Tajuknya sudah melebar dan bukan hanya untuk satu komoditi,” jelasnya.

Pertanian dengan model cerdas iklim

Data dari citra satelit yang diamati Rainforest Aliance, menunjukkan bahwa suhu permukaan yang terjadi di KPH Kotaagung Utara mengalami peningkatan, di mana pada Januari 2001 yang sebesar 15.697 °C, meningkat menjadi 26.888° C pada Januari 2019.

Untuk curah hujan, mengalami fluktuasi. Di tahun 2015 merupakan yang terendah, yaitu 2,042 mm/tahun dan tertinggi pada 2010, 2013, dan 2016 yang berkisar antara 3,400-3,700 mm/tahun.

Intan Diani Fardinanti, Coffee Team Manager Indonesia dari Rainforest Alliance, menuturkan bahwa perlu dilakukan metode pertanian kopi berkelanjutan sebagai langkah untuk mengatasi tantangan iklim, yaitu pertanian cerdas iklim.

Ia menyebutkan tiga pilar yang perlu dilakukan dalam metode tersebut. Pertama, meningkatkan produktivitas petani yang berkorelasi dengan mata pencaharian. Caranya dengan pemangkasan dan mengenali hama penyakit kopi.

“Cabang produksi harus dijaga, ketika tidak produktif atau terserang hama harus dibuang. Supaya bisa regenerasi. Kalau pohon kopi terlalu tua, perlu dilakukan peremajaan,” ungkapnya.

Menurutnya, manajemen tanah perlu dilakukan termasuk mikroorganisme yang dapat menjaga kesuburan. Pada lahan miring, dibuat terasering untuk mengurangi limpasan permukaan tanah oleh air. Ini dilakukan untuk mempertahankan soil organic metter.

Kedua, menerapkan model pertanian yang lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim sekarang dan akan datang. Salah satunya dengan mengamati varietas kopi yang paling cocok dengan cuaca yang berubah dan mempertahankan kesuburan tanah meski tidak menggunakan pupuk kimia.

Ketiga, mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Tentunya dengan tidak melakukan deforestasi lebih jauh di area kelola mereka,” paparnya.

  • Bagikan