Mediatani – Limbah kotoran ternak yang selama ini mencemari aliran sungai, menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Mengatasi kondisi itu, Maman memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan pembuatan pupuk kompos.
Mediatani – Sejak dulu, kotoran ternak telah dimanfaatkan oleh banyak masyarakat sebagai bahan utama pembuatan pupuk organik yang biasa disebut dengan pupuk kandang. Dengan campuran bahan organik lainnya, seperti sisa-sisa tanaman, kotoran hewan ini juga dibuat menjadi pupuk kompos.
Hal itulah yang dilakukan oleh Maman, yaitu salah seorang warga Kota Bandung. Berkat inisiatifnya untuk mengatasi limbah kotoran ternak yang selama ini mencemari aliran sungai, ia menyulap kotoran ternak tersebut menjadi pupuk organik.
Sebagian besar masyarakat telah menyadari bahwa kotoran ternak dapat diolah menjadi berbagai macam pupuk organik yang bermanfaat bagi tanaman, namun mereka menganggap hal itu membutuhkan biaya dan belum tentu menguntungkan.
Namun, bagi Maman Hidayat, kotoran-kotoran ternak tersebut adalah potensi usaha yang menjanjikan. Berkat keuletannya, ia mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk kompos. Ia bahkan telah mendirikan rumah kompos yang terletak di RT 01 RW 08, Kelurahan Cisurupan, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung.
Awalnya, rumah kompos yang didirikannya pada Mei 2019 itu masih berskala kecil. Saat itu, untuk mengumpulkan kotoran ternak ia juga masih menggunakan motor. Secara perlahan, Maman bersama rekannya terus mengolah kotoran sapi yang didapatkannya. Bau dari kotoran pun sudah tak dihiraukannya lagi.
Diawal kemunculan Rumah Kompos tersebut, Maman mengaku tergabung di dalam komunitas Anis Merah Zoothera Citrina (AMZT) bersama rekan-rekannya. Saat itu ia masih merasa kesulitan untuk mengolah kotoran ternak. Apalagi, sarana untuk berproduksi belum memadai dan masih kurang fasilitas penunjang.
“Kami butuhkan itu lahan dan alat transportasi untuk mengangkut kotoran hewan, ini menjadi hambatan distribusi pupuk kompos dalam jumlah banyak, sedangkan untuk lahan rumah Kompos hanya menggunakan 4×5 meter, jadi masih sangat kurang,” terang Maman.
Dilansir dari Jabarekspres, Minggu, (22/11/2020), Maman menceritakan bahwa pupuk yang diproduksinya itu, awalnya tidak diperjual belikan. Ia hanya membagi-bagikan pupuk itu ke warga sekitar. Kebetulan, di daerah rumah kompos banyak sekali komplek perumahan.
Namun karena produksi pupuk kompasnya itu membutuhkan biaya, ia terpaksa harus menjualnya. Per kantong plastiknya dengan isi dua kilogram dihargai Rp 2.000. Sampai pada akhirnya, banyak orang yang mengakui manfaat pupuk yang dibuat oleh Maman. Sejak saat itu, Maman mulai mempromosikan pupuk buatannya.
“Saat ini kami sering mengantar ke tiap kecamatan di Bandung, dikirim ke Pulau Jawa juga,” ungkapnya.
Maman juga mengungkapkan bahwa pemerintah sejauh ini belum memberikan bantuan untuk memproduksi pupuk. Mesin pengolah pupuk yang digunakannya selama ini merupakan hasil swadaya dari komunitas AMZT.
Pada dasarnya, proses pembuatan pupuk kompos sebetulnya cukup sederhana. Yaitu, penjemuran, proses penguraian hingga packing atau pengemasan pupuk yang sudah jadi. Meski demikian, keseluruhan proses tersebut memakan waktu hingga sati bulan lamanya.
“Kohenya (kotoran hewan) dijemur, lalu diaduk selama satu minggu campur arang sekam, kemudian angkut di tempat teduh untuk dianginkan dan aduk hingga kering, lalau kita diamkan selama proses fermentasi 2-3 minggu, setelah itu packing,” jelasnya.
Luas lahan penjemuran sangat mempengaruhi kapasitas produksi pupuk Maman. Dalam sebulan, Rumah Kompos hanya bisa memproduksi kompos 1-2 ton. Padahal, menurut Maman, ia bisa memproduksi hingga 20 ton jika lahan penjemurannya lebih luas.
Maman berharap, adanya Rumah Kompos Cisurupan ini mampu meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak membuang limbah kotoran sapi ke saluran sungai. Karena kotoran ternak itu sangat mencemari air di sungai tersebut.
Meski demikian, hanya segelintir saja peternak sapi yang memberikan kotoran hewannya untuk diolah menjadi pupuk kompos. Padahal di daerah tersebut ada banyak sekali peternak sapi yang membuang limbahnya ke sungai.
“Ada puluhan sapi, (bahkan) ratusan sapi yang membuang limbahnya pasti kesungai soalnya kemana lagi selain kesana, sedangkan kita hanya mengambil dari dua kandang saja,” tambah Maman lagi.