Ada yang Melarang, Ini Hukum Memakan Belut dalam Islam

  • Bagikan
Belut

Mediatani – Belut sudah menjadi menu favorit bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Apalagi jika berkunjung ke warung Padang, belut goreng adalah salah satu pilihan yang tepat. Selain dijual dalam bentuk masakan, belut hidup juga sudah banyak dijual di pasaran.

Bagi masyarakat Indonesia, belut merupakan sumber protein dan gizi yang tinggi. Keberadaan ikan ini juga cukup melimpah di alam. Namun karena permintaan pasar yang tinggi, banyak masyarakat yang mulai membudidaya belut sehingga pasokan selalu tersedia.

Namun, tak sedikit juga orang yang tidak mengonsumsi jenis ikan ini karena alasan takut atau jijik. Rasa jijik itu muncul, pertama karena mereka tidak suka dengan habitat ikan ini, yang suka hidup di lumpur. Kedua, karena hewan ini berbentuk panjang, tak bersisik dan sangat berlendir.

Namun bagi yang sudah mencicipinya, mereka akan mengakui kelezatannya dan menjadi ketagihan. Ketika telah digoreng, rasanya akan sangat gurih dan tekstur dagingnya yang kenyal menciptakan sensasi tertentu saat dikunyah. Gizi dan protein yang dikandungnya juga dipercaya bisa meningkatkan stamina pria.

Dalam aspek hukum, ada yang menganggap hewan ini tidak boleh dikonsumsi atau haram. Pertama, karena belut ini seperti ular (buas) dan kedua karena jijik.

Dua alasan yang tersebut sudah cukup kuat bagi penganut mazhab Syafi’i untuk menghukumi belut sebagai hewan yang haram. Fatwa hukum haram ini sebenarnya muncul pada masyarakat di negara-negara Timur Tengah yang belum pernah melihat belut, seperti Arab Saudi.

Tidak diketahui pasti kapan fatwa haram pada belut ini muncul, yang jelas pada akhir abad 19-an jamaah haji Indonesia dikenal sebagai muslim pemakan “ular” oleh masyarakat Arab.

Anggapan ini tidak hanya menimpa para jamaah tetapi juga para ulama Indonesia yang bermukim di Hijaz (Mekkah). Dampaknya, jamaah haji asal Indonesia kurang dihargai, bahkan fatwa ulama-ulama kita pun kurang dipercaya, meskipun beberapa dari mereka sudah mukim dan mengajar di Mekkah.

Peristiwa ini terjadi seperti yang sudah dijelaskan, bahwa masyarakat Arab tidak mengenal belut. Mereka hanya menggunakan kamus Arab sebagai referensinya, dimana belut dideskripsikan seperti ular. Tak heran jika masyarakat Arab tidak mengenal belut, karena wilayahnya memang tidak ada habitat belut.

Kondisi ini cukup meresahkan seorang Ulama asal Indonesia, Syeikh Haji Raden Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Bughuri al-Batawi al-Jawi al-Makki. Syekh Mukhtar merupakan salah satu simpul penting dalam jaringan ulama Nusantara pada awal abad 19 dan juga pengajar di Masjid al-Haram.

Syekh Mukhtar yang telah akrab dengan belut sejak kecil merasa keberatan dengan anggapan masyarakat Arab. Ia juga sudah mengetahui persis bahwa belut merupakan jenis ikan yang sangat mudah dijumpai di sungai, sawah atau rawa.

Syekh Mukhtar pun membantah fatwa haram belut Menyusun sebuah magnum opus yang berjudul As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayan Hal al-Balut wa ar-Raddu ala Man Harramah, atau biasa dikenal dengan Kitab Belut.

Kitab tersebut membahas tentang klasifikasi hewan, didalamnya dijelaskan bahwa hewan secara umum terbagi menjadi empat kategori diantaranya, (1) hewan darat yang mampu hidup di air, seperti burung-burung yang mampu terbang namun bisa hidup di air, keberadaan mereka hanya sementara untuk kepentingan tertentu.

(2) hewan darat yang tidak mampu hidup di air dari sejak karakternya, seperti kucing, (3) hewan di air yang tidak mampu bertahan hidup di darat, seperti mayoritas jenis ikan, (4) jenis hewan laut yang bisa hidup di daratan secara temporal(tidak permanen) .

Setiap kategorinya memiliki hukum yang berbeda beda, ada yang halal dan haram. Selain dari berbagai kategori tersebut, ada jenis hewan yang bisa hidup di dua alam, contohnya ular dan katak.

Berdasarkan sejumlah pendapat dari para ulama-ulama seperti halnya nukilan imbuhan Syaikh Mukhtar, hewan yang hidup di air selain katak atau hewan yang beracun (berbahaya) hukumnya halal.

Syaikh Mukhtar al-Batawy menerangkan bahwa hukum belut yang dalam bahasa Arab disebut dengan Al-Inqilis. Menurut Syekh Mukhtar, belut merupakan jenis ikan yang hukumnya halal.

Hal ini juga sesuai pendapat para shahabat Rasulullaah yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar Bin Khattab, Ibnu Abbas dan Yazid Bin Tsabit, serta Abu Hurairah, pandangan para madzhab Maliki dan Syafi’I, beliau menegaskan bahwa belut adalah hewan air yang tidak keluar ke darat , melainkan untuk keperluan dan dalam kurun waktu tertentu saja.

Karena itulah, para ulama mengatakan belut hukumnya boleh dimakan. Sebab, belut merupakan jenis ikan yang bernafas dengan ingsang, bukan bagian dari jenis hewan melata seperti ular. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut:

 

والحكم الخاص بحل الجزء المبان من السمك يشمل جميع أنواع السمك ومنه الجريت بكسر المعجمة وتشديد المهملة وهو سمك اسود مدور

 

Artinya: “Hukum kehalalan yang berlaku pada bagian potongan tubuh dari ikan, mencakup pada seluruh species jenis-jenis ikan yang ada, di antaranya adalah belut, yaitu ikan yang berwarna hitam dan berbentuk bulat.

Selain itu disebutkan di dalam kitab Al-Nihayah di Gharibil Atsar, bahwa suatu hari Sayyidina Ali menyuruh orang agar jangan membeli belut di pasar.

Perlu ditekankan bahwa larangan Sayidina Ali ini bukan menjelaskan bahwa belut haram, namun karena memang di tanah Arab belut tidak ada sehingga beliau tidak terbiasa memakannya.

Riwayat tersebut bersumber dari Ammar, dia mengatakan demikian:

 

في حديث علي رضي اللّه عنه  أنه بعث إلى السوُّق فقال : لا تأكلوا الأنْكَلِيس هو بفتح الهمزة وكسرها : سمك شبيه بالحيَّات ردِئ الغذاء وهو الذي يسمى الْمَارْمَاهِي . وإنما كرِهه لهذا لا لأنه حرام

 

Artinya: “Dalam hadis Sayidina Ali, beliau mengutus seseorang ke pasar kemudian beliau berkata; “Janganlah memakan belut”. Belut ialah hewan yang mirip ular yang buruk makanannya, ia disebut juga dengan memarahinya. Sayyidina Ali melarang belut karena ini, (mirip ular dan buruk makanannya), bukan karena belut haram.”

  • Bagikan