Benih Lobster Menjepit Sang Menteri

  • Bagikan
Muhammad Qustam Sahibuddin SE
Muhammad Qustam Sahibuddin SE., Peneliti PKSPL IPB, Kordinator maritim dan perikanan Indonesia Food Watch (IFW).

Oleh: Muhammad Qustam Sahibuddin SE*

Kenapa Vietnam berinisiatif melakukan kegiatan budidaya lobster pada tahun 1992 akibat dari penurunan hasil tangkapan lobster yang dilakukan oleh nelayan di Vietnam dikarenakan makin meningkatnya permintaan lobster oleh Negara Cina pada awal tahun 1980-an hingga tahun 1990-an.

Awal kegiatan budidaya lobster di Vietnam dilakukan pada Tahun 1992 di Desa Xuan Tun terletak di Kecamatan Van Ninh Kota Nha Trang Provinsi Khanh Hoa Vietnam. Lobster yg dibudidayakan ada tiga jenis, yaitu lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster pasir (Panulirus homarus), dan lobster batik (Panulirus longipes). Ketiga jenis lobster tersebut ada di Indonesia. Alasan memilih ketiga jenis lobster tersebut karena dapat dibudidayakan dan tentu dari segi bisnis yaitu memiliki harga yang tinggi.

Kegiatan budidaya lobster (bisa kita namakan juga peningkatan NILAI TAMBAH) yang ada di Desa Xuan Tun terdiri dari beberapa tahapan yaitu (Akhamd Mustafa, 2013) :

  1. Tahap penangkapan benih lobster,
  2. Tahap produksi tokolan lobster,
  3. Tahap pembesaran lobster

Masing – masing tahapan tersebut merupakan segmen segmen usaha tersendiri (tahapan Peningkatan NILAI TAMBAH).

Tahapan produksi tokolan lobster dan pembesaran menggunakan sistem budidaya keramba jaring apung atau KJA. Namun seiring berkembangnya IPTEK yg dilakukan di Vietnam, pada tahapan produksi tokolan sudah dilakukan pada sistem mini hatchery di darat (sumber : pembudidaya lobster di teluk bumbang, 2018). Kemungkinan terbesar IPTEK yg dikembangkan di Vietnam terkait produksi tokolan untuk memperbaiki SR dari benih lobster (asumsi pribadi).

Harga lokal (tahun 2013) lobster hasil budidaya untuk jenis lobster mutiara 1.700.000-1.800.000 VND/kg dan lobster pasir 980.000-1.000.000 VND/kg dengan ukuran konsumsi 1 kg isi 1-2 ekor (Akhamd Mustafa 2013). Dampak dari kegiatan budidaya lobster di Vietnam, pada tahun 2006 Vietnam mampu mengekspor lobster sebanyak 1.900 ton dan menurun pada 2007 (1.400 ton) dikarenakan serangan milky haemolymph disease akibat dari penurunan kualitas perairan (Hung & Tuan, 2009 dalam Akmad Mustafa, 2013).

Walaupun sempat mengalami penurunan akibat serangan milky haemolymph disease, namun Vietnam terus berbenah dari segi penerapan IPTEK terkait budidaya lobster.

Pada tahun 2017, sekjend KKP mengatakan bahwa Vietnam mampu meraup devisa Rp. 31 Triliyun hingga Rp. 40 Triliyun per tahun dari usaha pembesaran (budidaya atau peningkatan NILAI TAMBAH) dari benih yang dibeli di Indonesia. Serta dapat mengekpor lobster per tahun sebanyak 30.000 ton.

Nilai ekspor penyelundupan benih lobster Indonesia ke luar negeri dengan nilai hingga Rp 900 miliar per tahun tidak seberapa diabndingkan dengan nilai Ekspor yg di hasilkan oleh Vietnam dari pembesaran lobster (Rp. 30 Triliyun – Rp. 40 Triliyun).

Penyelundupan tetap akan terjadi jika kebijakan ekspor benih lobster diterapkan. Alangkah baiknya benih lobster jng diekspor tapi ditingkatkan Nilai Tambahnya dengan pembesaran melalui penerapan IPTEK yang tepat guna.

Vietnam saja bisa, masa Indonesia tidak bisa.

Peningkatan nilai tambah lobster beda dengan peningkatan nilai tambah Ikan Asin. Kebijakan negara melalui kementerian sangat diharapkan dapat berpihak kepada masyarakat, bukan kepada kepentingan individu maupun golongan sehingga jangan ada berhembus opini ada lobster dibalik kepentingan. Semoga./**

*)Penulis, Muhammad Qustam Sahibuddin SE merupakan Peneliti PKSPL IPB, Kordinator maritim dan perikanan Indonesia Food Watch (IFW)

  • Bagikan