Mediatani – Prinsip pengelolaan sumber daya ikan berbasis ekosistem yang diterapkan saat ini masih menghadapi banyak tantangan. Diperlukan kerja sama lintas pemerintah dan melibatkan pemangku sampai tingkat lokal untuk mewujudkannya.
Penerapan pengelolaan perikanan yang berbasis ekosistem ini semakin menjadi tuntutan global. Sementara, Indonesia masih sibuk menghadapi berbagai persoalan tentang eksploitasi perikanan yang kerap mengabaikan prinsip keberlanjutan.
Perlu menerapkan sejumlah strategi yang tepat agar prinsip ekonomi dan konservasi sumber daya ikan dapat berjalan secara bersamaan.
Hal tersebut dibahas dalam webinar ”Memperkuat Implementasi Kebijakan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) di Tingkat Pusat dan Daerah” yang diselenggarakan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) yang berkolaborasi dengan Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelautan, serta Yayasan Pesisir Lestari, Rabu (21/4/2021).
Dalam kesempatan itu, Pimpinan Forum Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelautan, La Sara menjelaskan bahwa prinsip pengelolaan sumber daya perikanan berbasis ekologi telah menjadi tuntutan global.
Meskipun telah banyak disusun berbagai instrumen dalam manajemen perikanan berbasis ekosistem lingkungan, namun masih perlu dilakukan penguatan implementasi di pusat dan daerah.
Permintaan pasar yang tinggi terhadap sumber daya ikan menjadi salah satu pemicu dilakukannya eksploitasi besar-besaran terhadap perikanan tangkap sehingga keberlanjutan sumber daya menjadi terancam.
Sementara itu, keseimbangan ekosistem perlu dikedepankan dalam pengelolaan sumber daya ikan agar dapat terus mendorong produktivitas perikanan.
”Perbaiki dulu ekosistem yang menjadi habitat sumber daya ikan. Ketika ekosistem terjaga dengan bagus dan sehat, ikan dapat hidup dengan bagus sehingga mendatangkan produktivitas tinggi dan bisa dieksploitasi oleh masyarakat,” ungkap La Sara, dilansir dari Kompas.
UU Cipta Kerja yang diterbitkan beberapa waktu lalu diharapkan mampu membuat upaya eksploitasi sumber daya dengan pembangunan kelautan dan pesisir menjadi harmonis.
Pengelolaan perikanan yang dilakukan dengan pendekatan ekosistem tidak hanya mengutamakan keberlanjutan sumber daya ikan, tetapi juga ketertelusuran (tracebility) dalam pemanfaatan sumber daya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dedi Mulyadi, mengungkapkan bahwa dalam penyusunan perundang-undangan, terdapat sejumlah kelemahan yang kerap mengabaikan prinsip konservasi ekosistem dalam pemanfaatan sumber daya ikan.
Di sisi lain, kearifan lokal yang dipertahankan oleh masyarakat untuk menjaga lingkungan juga terus berhadapan dengan pembangunan yang merusak lingkungan.
”Konservasi nyaris sering diucapkan, tetapi banyak godaan ketika dilaksanakan. Kelemahan terjadi dari sisi penyusunan aturan dan penegakan hukum. Ini membutuhkan pembenahan,” ujarnya.
Dedi menambahkan, jika ekosistem telah rusak, maka upaya untuk mengadopsi teknologi perikanan, perangkat digital, dan alat tangkap modern tidak akan mampu meningkatkan produktivitas sumber daya.
Aturan perundang-undangan yang disusun harus berfokus pada teknis yang diperketat agar pengelolaan sumber daya kelautan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan.
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sri Yanti Wibisana menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki sejumlah target pencapaian konservasi dan produksi hingga tahun 2024.
Namun, dibutuhkan koordinasi dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan agar target jangka menengah dan panjang itu dapat terwujud.
”Dari sisi kelembagaan, ada ego sektoral. Kementerian dan lembaga begitu banyak terlibat, tetapi belum ada sinergitas untuk tata kelola perikanan berbasis ekosistem. Peran pemerintah daerah dalam pengelolaan perikanan juga perlu dipertajam,” kata Yanti.
Luas kawasan konservasi tercatat hingga tahun 2020, yakni 24,1 juta hektar atau 7,4 persen dari luas total perairan. Tahun 2030 mendatang, perairan konservasi ditargetkan dapat berkontribusi hingga 8,4 juta hektar.
Selain itu, pemerintah juga menargetkan peningkatan produksi perikanan, baik dari sub sektor perikanan tangkap maupun budidaya mengalami peningkatan dari 15,5 juta ton pada tahun 2020 menjadi 20,4 juta ton pada 2024.
Nilai ekspor perikanan juga ditargetkan dapat mengalami peningkatan dari 6,2 miliar dollar AS tahun 2020 menjadi 8 miliar dollar AS pada tahun 2024.
Adapun upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengelola perikanan dengan menyeimbangkan ekonomi dan ekologi, antara lain, melalui penguatan data stok sumber daya ikan dan pengembangan kelembagaan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.
Selain itu juga dengan menjadikan WPP-RI sebagai basis spasial dalam pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan, serta mengelola dan menata zonasi di wilayah pesisir.
”Keseimbangan ekonomi dan ekologi akan terus diupayakan dalam lima tahun ke depan, sejalan dengan kewajiban terhadap global dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan,” kata Yanti.