Bisakah Memberi Makan Miliaran Manusia Tanpa Merusak Bumi?

  • Bagikan
orang sedang makan
ilustrasi: orang beramai-ramai sedang menyantap makanan

Mediatani – Berburu dan meramu menjadi aktivitas purba yang dilakukan manusia untuk memperoleh makanan, seperti berburu hewan dan mengumpulkan buah-buahan yang tersedia di alam liar . Setelah melalui proses yang panjang, sekitar 10.000 tahun yang lalu, manusia mulai bercocok tanam dan hidup menetap. Revolusi pertanian inilah yang kemudian diyakini menjadi asal usul peradaban manusia.

Menurut data FAO tahun 2020, secara global luas lahan pertanian adalah sekitar 5 miliar hektar, 38% dari permukaan lahan global. Sekitar sepertiga dari persentase tersebut digunakan sebagai lahan pertanian untuk budidaya tanaman pangan. Angka tersebut bisa saja terus bertambah, apalagi dengan kondisi kebutuhan pangan manusia akan semakin meningkat selaras dengan meroketnya populasi manusia.

Dengan dalih memenuhi kebutuhan manusia dan memperbaiki ekonomi negara, praktik pertanian intensif dengan konsep eksploitasi sumber daya alam pun marak dilakukan. Demi memperoleh hasil panen yang melimpah, lahan dihujani pupuk dan pestisida dalam dosis tinggi tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan. Akibatnya adalah air tanah, sungai dan danau akan tercemar, kualitas tanah menurun, ancaman penyakit pada tanaman bahkan hingga gagal panen.

Parahnya lagi, alih fungsi hutan untuk lahan pertanian atau perkebunan berpotensi mengurangi keanekaragaman hayati, peningkatan pemanasan global dan menganggu keseimbangan ekosistem seperti peledakan hama dan berkurangnya polinator.

Lalu, bagaimanakah langkah yang harus dilakukan untuk memenuhi permintaan bahan pangan tanpa merusak lingkungan?

Di negara maju, praktik sistem pertanian sudah menggunakan teknologi yang canggih guna menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas. Mereka menggunakan drone untuk memonitor kondisi tanaman di lahan dengan skala yang luas. Bahkan penggunaan sensor dan kecerdasan intelektual atau robot sangat efisien dalam mengumpulkan data dan informasi yang akurat seputar kebutuhan nutrisi dan air yang dibutuhkan tanaman. Hal ini dapat mengurangi risiko penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan.

Jika teknologi digadang-gadang mampu menyelesaikan masalah mengapa hingga detik ini, eksploitasi terhadap sumber daya alam dan lingkungan masih marak dilakukan. Masalah tersebut menunjukkan bahwa pertanian di masa depan bukan hanya sekedar teknologi canggih atau kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Teknologi pertanian didesain untuk menghasilkan pangan secara berkelanjutan, yaitu mampu memenuhi kebutuhan pangan secara kuantitas dan kualitas tanpa merusak lingkungan. Praktik pertanian tradisional juga bisa diterapkan untuk mencapai tujuan yang sama dimana biaya yang dikeluarkan oleh petani kecil bisa lebih terjangkau. Hal ini diyakini mampu memberikan dampak yang lebih besar dan berkelanjutan.

Brent Loken, Kepala peneliti sistem pangan untuk organisasi WWF (World Wild Life) mengatakan bahwa praktik budidaya pertanian tradisional bisa menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal. Di beberapa negara seperti Costa Rica dan Indonesia, petani berhasil memadukan lahan mereka dengan habitat hutan tropis. Praktik tersebut berkontribusi dalam menjaga keanekaragaman hayati karena menyediakan sumber makanan bagi flora dan fauna, membantu proses penyerbukan dan pengendalian hama penyakit secara alami, serta merestorasi ekosistem.

Di Bangladesh, Kamboja, dan Nepal, petani mulai bereksperimen dengan menciptakan varietas padi terbaru yang lebih tahan akan kondisi kering dan hasil bulir padi yang melimpah. Hal ini dapat mengurangi penggunaan air irigasi untuk tanaman padi yang umumnya hanya bisa tumbuh subur di lahan basah dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Di Zambia, banyak organisasi non pemerintah atau NGO (Non Government Organization) memberikan modal dan pemberdayaan bagi petani kecil untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Kondisi berbeda dihadapi oleh petani India dimana banyak makanan terbuang pasca panen akibat infrastruktur yang tidak memadai. Hasil panen tidak bisa didistribusikan dengan cepat ke konsumen dan harga komoditas akan turun. Petani pun berinisiatif untuk membuat ruang penyimpanan (pendingin) bertenaga surya. Langkah ini pun efektif membantu ribuan petani di pedesaan India menjaga kesegaran hasil panen dan membentuk manajemen rantai pasok yang efisien.

Dihadapkan dengan pilihan menggunakan teknologi yang paling canggih hingga praktik pertanian ramah lingkungan dari desa terpencil adalah tentang komitmen. Komitmen untuk mengubah pola pikir bahwa pertanian di modern tidak hanya berorientasi pada kuantitas tapi bagaimana manusia bisa mengkonsumsi makanan sehat dan mengurangi jumlah limbah makanan secara besar-besaran. Visi meringankan beban lingkungan dan mendukung petani untuk mandiri dan sejahtera adalah hal yang utama.

Jadi, bisakah kita?

  • Bagikan