KONFLIK ekologi pesisir merupakan persoalan penting yang harus segera dijawab oleh pemerintah. Sebab persoalan ini menyangkut ruang hidup masyarakat banyak. Wacana tersebut menjadi kesimpulan pada diskusi publik yang dipandu oleh Helmy Ayuradi Miharja, Peneliti Sosiologi Pedesaan di Cafebook Baraya, Bogor 25/2/2018 Malam.
“Sebagai negara maritim yang pernah berjaya di zamannya, sudah saatnya membangun kembali budaya dan karakter bangsa dari maritim demi terwujudnya keadilan bangsa” simpul Helmy saat menutup diskusi publik tersebut.
Diskusi publik yang dihadiri tiga puluhan penggiat ekologi pedesaan tersebut mengulik tema “Konflik Ekologi Masyarakat Pesisir”. Hadir sebagai pembicara adalah Yoppi Christian M.Si., peneliti PKSPL IPB. Hadir pula Rinto Andhi M.Si, peneliti ekologi pesisir.
Yoppi menyebutkan bahwa pada konteks wilayah, pesisisr mempunyai peradaban yang sangat tinggi namun mengapa saat ini justru menjadi wilayah marjinal yang bahkan sangat erat dengan kemiskinan. Menurutnya, Lima faktor bisa mempengaruhi kelestarian atau keruntuhan peradaban:kerusakan lingkungan, perubahan iklim, pengaruh peradaban musuh, pengaruh peradaban sahabat, dan yang terpenting tanggapan masyarakat terhadap masalah lingkungan.
“Saat ini berada disebuah era, dimana kecendrungan masyarakat kita sedang mengalami bunuh diri Secara ekologis melalui tindakan creative destruction. Sejak tahun 1970 atau 40 tahun yang lalu kita memulai hari bumi namun kondisi ekologi justru mengalami environmental breakdown” tutur Yoppi.
Yoppi mengesalkan terjadinya politisasi lingkungan yang amat benderang. Dirinya mencontohkan rencana zonasi pesisir yang sudah diagendakan sejak tahun 2007, namun sampai saat ini baru 8 provinsi yang terealisasi. Hal tersebut disebabkan terlalu banyak kepentingan politik yang bermain.
“Untuk ke depan, intinya bagaimana menyatukan dualitas antara nature system dan human system berjalan melalui management system yang kuat berprinsip sustainable dan tidak saling memangsa antara human system dan nature system” Jelasnya.
Sementara itu, pembicara lainnya, Rinto menerangkan bahwa Konflik sumberdaya kelautan dan pesisir merupakan konflik ruang hidup. Dalam konflik dapat dilihat aktor-aktor yang bermain. Aktor developmentalis akan melakukan bagaiman caranya agar investasinya dapat dijalankan dalam usaha “mengekstrak” sumberdaya pesisir.
“Tak ayal mereka (investor) melakukan segala cara guna mendapatkan hak konsensi dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan pesisir. Cara-cara menjadi pemburu rente pun dilakukan agar dapat melegalkan usaha ekstraktif sumberdaya kelautan dan pesisir.” Terang Rinto.
Demikian juga aktor konservasionis, dengan berbagai cara mulai menanampak kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya konservasi sampai ke arah bagaiman program konservasi menjadi program pemerintah baik pusat maupun daerah.
“Sedangkan masyarakat lokal kadang menjadi korban dan luput dari keterlibatan mereka dan mengawal dan mengkontrol program developmentalis dan konservasionis. Sehingga masyarakat hanya menjadi obyek dalam kedua program.” Ungkap Rinto.
Rinto menerangkan bahwa absennya masyarakat dari keterlibatan program –program pembangunan dan konservasi menjadi salah satu akar konflik. Kesenjangan kekuasaan, kekuatan dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat tidak sebanding dengan aktor yang menamakan dirinya developmentalis dan konservasionis. Selain itu program-program kelautan dan pesisir yang berkelanjutan juga masih minim terdapatnya informasi dan kajian, baik kajian awal maupun kajian lanjutan.
“Setidaknya terdapat empat faktor yang menyebabkan kegagalan program pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan pesisir adalah: 1) minimnya akusisi, analisis dan artikulasi data, 2) kurangnya kajian berbasis spasial maritime, 3) tidak transparasinya program baik pada perencanaan, pelaksanaan sampai monev, dan 4) minimnya pendampingan secara persistent di masyarakat, sehingga collective action dan transformasi pengetahuan tidak terwujud.” Lugas Rinto.