Mediatani – Dewan Jagung Nasional memprediksi produksi jagung nasional bisa mengalami peningkatan pada tahun ini, dengan target mencapai 23 juta ton tahun ini. Dibanding tahun sebelumya, produksi jagung nasional ditaksir mencapai 15,79 juta ton dengan kadar air 14% dan dari luas panen sekitar 4,15 hektare.
Sekretaris Jendral Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Sola mengatakan, meski Kementerian Pertanian (Kementan) dan BPS belum mengeluarkan data, tapi produksi tahun ini diprediksi bisa mencapai 23 juta ton pipilan kering.
Menurutnya, prediksi peningkatan produksi jagung ini muncul setelah melihat cuaca yang mendukung serta pertambahan areal tanam. Belum lagi, sejak tahun 2021 kenaikan harga jagung mendorong minat banyak petani untuk bertanam.
“Tahun ini areal tanaman bisa melampaui target. Seharusnya luas areal tanam bisa bertambah 10% dibandingkan tahun lalu. Karena ada banyak penanaman yang dilakukan di lahan-lahan perhutanan sosial,” kata Maxdeyul, dilansir dari CNBC Indonesia, Rabu (26/1/2022).
Meski demikian, tambahnya, produksi dan luas areal tanam yang ditargetkan akan meningkat tahun ini bisa terkendala oleh harga pupuk yang melonjak.
“Kendala tahun ini hanya pupuk. Kalau (harga) pupuknya bisa terkendali, petani bisa mendapatkan pupuk, target produksi bisa naik. Kita hanya khawatirkan soal ketersediaan pupuk. Karena petani jagung kita sudah biasa menggunakan bibit hibrida,” terangnya.
Ia juga menjelaskan, jika produksi jagung ini menggunakan bibit hibrida, maka akan dibutuhkan pemupukan dengan kuantitas dan waktu pemberian yang tepat.
“Kalau tidak akan berpengaruh ke produktivitas. Jadi, pupuk ini menentukan apakah target produksi bisa tercapai atau tidak,” tambah Maxdeyul.
Sebelumnya, kenaikan harga pupuk juga dikhawatirkan akan menjadi kendala produksi tanaman lainnya, seperti padi, gula (tebu), dan hortikultura nasional tahun ini. Pasalnya, meski para petani telah menggunakan pupuk bersusbsidi, mereka juga terpaksa membeli pupuk nonsubsidi karena stok yang bersubsidi sangat terbatas.
Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santoso menjelaskan bahwa pupuk bersubsidi memang ada untuk petani dengan lahan di bawah 2 hektare. Namun, pupuk tersebut hanya cukup digunakan sekali.
“Jadi, hampir semua petani padi sawah pakai pupuk subsidi. Tapi, dengan alokasi hanya 9 juta ton, sementara kebutuhan sekitar 2 kali itu, tentu petani akan beli pupuk non-subsidi,” ungkapnya.
Dengan harga pupuk non-subsidi yang tinggi saat ini, petani akan kesulitan. Sementara penggunaan pupuk ini mempengaruhi kualitas tanaman yang dipanen.
“Dan ini menyangkut kualitas hasil panen. Padahal, dari segi jenis pupuk subsidi dan non-subsidi saja sudah menyebabkan perbedaan kualitas. Karena sumber pupuk majemuk itu beda-beda, tentu dampaknya beda terhadap kualitas panen,” kata Dwi Andreas.