Mediatani – Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, mengungkapkan kekecewaannya kepada jajaran eselon I Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Rapat Dengar Pendapat (RDP), Kamis (21/1/2021). Pasalnya, imbauan Komisi IV terkait ekspor benih bening lobster (BBL) yang tidak dihiraukan oleh KKP menyulut kemarahan Sudin.
“Mohon maaf saya pagi-pagi sudah marah, karena saya merasa dilecehkan, yang tanda tangan saya di situ,” ujar Sudin saat memulai rapat.
Pada rapat tanggal 22 September 2020, KKP didesak oleh DPR RI untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang PNBP Ekspor Benih Bening Lobster selambat-lambatnya 60 hari kerja. Jika dalam waktu tersebut PP belum diterbitkan, maka komisi IV DPR meminta KKP untuk menghentikan sementara kegiatan ekspor BBL.
Namun, ternyata dua bulan setelah rapat masih ada ekspor benih bening lobster (BBL) yang dilakukan, padahal PP yang diimbaukan belum juga terbit. Hal tersebut membuat Sudin sebagai Ketua Komisi IV DPR marah dan merasa dilecehkan.
“Ini ditandatangani oleh Sekjen mewakili menteri KKP,” kata Sudin dalam Rapat Dengar Pendapat dengan eselon I KKP.
Padahal menurutnya, aturan tersebut sudah dijelaskan pada Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 bahwa kegiatan ekspor tidak bisa diizinkan jika calon eksportir belum ada hasil budidaya. Dan pada akhirnya mantan menteri KKP Edhy Prabowo terjaring dalam kasus suap ekspor tersebut.
“Coba pikirkan ini. Sampai akhirnya bisa kena masalah. Ini sudah jelas belum ada PNBP-PNBPnya, jangan ekspor,” ungkap Sudin.
Belajar dari kasus tersebut, Sudin pun kini meminta pihak Bea Cukai untuk mengawasi agar praktik ekspor tidak dilanjutkan. Ia meminta agar Bea Cukai langsung menangkap jika masih menemukan ekspor benur ini.
“Saya enggak tahu sekarang masih diekspor atau enggak. Kemarin saya minta Bea Cukai untuk ngecek, kalau ada langsung tangkap. Saya kasih surat sebagai alasan dia untuk menghentikan, menangkap,” pungkas Sudin.
Sudin pun meminta KKP sebagai mitra Komisi IV untuk bisa kerja sama dalam menjalankan apa yang sudah diputuskan.
“Tolong kita ini mitra, apa yang sudah diputuskan dijalankan. Dan mohon maaf, yang mendorong Edhy masuk sel itu Ibu-ibu, Bapak-Bapak juga. Saya prihatin, saya malu mitra saya sampai kena masalah,” pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Edhy Prabowo ditangkap oleh KPK pada Rabu, (25/11/2020), dini hari. Penangkapan Edhy dilakukan di Bandara Soekarno Hatta. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memberi keterangan bahwa penangkapan Edhy Prabowo terkait dengan dugaan korupsi dalam ekspor benur.
Kebijakan ekspor benih lobster tersebut sudah menuai kritik dari berbagai kalangan sejak awal, yaitu saat Edhy berencana mengubah Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2016 era mantan Menteri Susi Pudjiastuti itu.
Susi yang mengetahui hal tersebut jelas menentang ekspor BBL karena di masa dia menjabat, banyak nelayan kecil menjadi kesulitan saat menangkap udang. Benih lobster itu telah banyak diperdagangkan ke luar negeri, utamanya ke Vietnam.
Sejak Permen KP 56/2020 terbit, Susi mengklaim komposisi spesies lobster makin banyak di laut. Ia berpendapat, pengambilan bibit lobster akan menjadi semakin mudah dikuasai dan dikomersialisasi oleh pengusaha besar, yang mempekerjakan nelayan kecil untuk menangkap benih lobster.
Nelayan kecil yang berhasil menangkap benih lobster itu kemudian menjualnya ke pengusaha besar dengan harga murah. Dalam hal ini, pengusaha besar mendapat keuntungan karena memiliki akses yang lebih baik untuk mengirimkannya ke luar negeri.
“Dia (nelayan) ambil bibitnya, dia perjualbelikan ke pengusaha yang punya akses untuk kirim bibit lobster ke Vietnam untuk dibesarkan. Perdagangan lintas negara kan harus lewat border, memerlukan kapal, memerlukan sarana prasarana yang tidak bisa orang kecil lakukan,” ungkap Susi saat mengkritik kebijakan di era Edhy Prabowo.