Mediatani – Food and Agriculture Organization (FAO) menggelar sidang Committee on Fisheries (COFI) ke-34 yang dilakukan secara daring. Sidang dua tahunan tersebut dijadwalkan akan berlangsung selama lima hari yaitu tanggal 1 hingga 5 Februari 2021.
Pemerintah Republik Indonesia (Pemri) yang berpartisipasi pada kegiatan tersebut diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves).
Pada tahun ini, pertemuan tersebut dirangkaikan dengan peringatan ke-25 the Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang merupakan panduan dunia agar mengarah kepada perikanan tangkap dan budidaya berkelanjutan.
CCRF ini diterbitkan sebagai upaya dalam menghadapi berbagai masalah lingkungan, seperti tantangan perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta praktik pemanfaataan wilayah laut, perairan darat dan pesisir yang ilegal dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dengan CCRF ini, negara harus mencegah dilakukannya penangkapan berlebih (overfishing) dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas (excess fishing capacity), dan harus melaksanakan berbagai langkah pengelolaan untuk menjamin upaya penangkapan seimbang dengan kapasitas produktif sumber daya perikanan dan pemanfaatannya yang berkelanjutan.
Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu dalam sambutan pembukaan sidang COFI ke-34 ini mengatakan bahwa peringatan ke-75 FAO (The State of World Fisheries and Aquaculture) atau sering disingkat dengan SOFIA pada tahun 2020 lalu merupakan tonggak untuk memikirkan kembali dan membuat desain kegiatan dan aksi baru yang sesuai dengan cita-cita pembentukan FAO.
“Kami menciptakan Organisasi (FAO) yang tangkas dalam melayani (Negara) Anggotanya untuk mencapai “Empat Lebih Baik” yaitu produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik,” ungkap Qu Dongyu.
Lebih jauh Dirjen FAO menekankan bahwa dari berbagai forum antar bangsa dunia, COFI merupakan satu-satunya forum yang membahas dan menyelesaikan isu dan permasalahan perikanan dan akuakultur.
Dan pada sidang COFI ke-34, berbagai persoalan tersebut dikemas dalam 18 mata agenda yang mencakup kondisi perikanan tangkap dan budidaya saat ini, perubahan iklim, perikanan skala kecil, serta penangkapan ikan ilegal yang masih marak terjadi di berbagai negara.
“…COFI34 (pertemuan ini – red) juga akan menyoroti hubungan penting antara ikan, masyarakat, dan kebudayaan,” tegasnya.
Selain dari beberapa agenda yang dimaksud, sidang ini juga mengadopsi Declaration for Sustainable Fisheries and Aquaculture (Deklarasi untuk Perikanan dan Budidaya Berkelanjutan). Terkait deklarasi tersebut, Indonesia turut mendukung dan berharap ke depan dapat menyokong pencapaian ketahanan pangan dan gizi yang berkelanjutan dari sektor perikanan.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP, Artati Widiarti yang menjadi Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam sidang tersebut mengatakan bahwa hampir sekitar 90% yang menjadi penopang aktivitas perikanan di Indonesia adalah perikanan skala kecil, baik dari subsektor perikanan tangkap maupun budidaya.
“Kita akan turut membahas ini untuk memperkuat usaha perikanan tangkap skala kecil agar lebih maju, mandiri, dan berkelanjutan mengingat potensi sumber daya ikan Indonesia yang luar biasa,” imbuh Artati Widiarti.
Indonesia juga menyatakan dukungannya terhadap inisiasi pemerintah Republik Korea yang mengusulkan diskusi tentang the Pilot Partnership Programme on World Fisheries University (WFU). Dukungan tersebut dilakukan sebagai upaya menindaklanjuti hasil pertemuan bilateral Korea Selatan dengan Indonesia yang dilaksanakan pada Januari lalu agar dapat dibahas pada pertemuan ini.
Selain Artati Widiarti, pada hari pertama sidang juga dihadiri oleh perwakilan Indonesia lainnya yaitu Duta Besar RI di Roma, Italia, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri dan Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP, serta perwakilan unit Eselon 1 teknis lingkup KKP.