Mediatani.co — Sektor pertanian dan tanaman pangan menjadi kunci perekonomian untuk masa depan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, seiring dengan terus meningkatnya kebutuhan pangan. Sayangnya, regenerasi pelaku usaha sektor ini masih terkendala oleh keengganan kawula muda untuk “turun tanah”.
Bertani, bagi anak muda Indonesia, bukan lagi pekerjaan yang menjanjikan masa depan. Hal ini ditandai dengan jumlah petani berusia muda terus merosot.
Empat tahun silam, Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan laporan bertajuk Sensus Pertanian 2013. Di dalam salah satu bagian publikasinya, BPS mendata jutaan petani di Indonesia dalam kelompok usia. Dari total 26.135.469 petani yang saat itu terdata, kelompok usia 45-54 tahun memiliki jumlah absolut terbanyak: 7.325.544 orang.
Jumlah terbesar kedua pada kelompok usia 35-44 tahun (6.885.100 orang) dan jumlah ketiga dan keempat pada kelompok usia lebih tua lagi, yakni 55-64 tahun (5.229.903 orang). Sementara kelompok usia lebih dari 65 tahun sebanyak 3.332.038 petani.
Angkatan muda yang emoh mengolah lahan membuat jumlah petani menyusut hingga 5 juta orang dalam kurun 2003-2013. Jika diringkas, 60,8 persen petani di Indonesia berada dalam usia di atas 45 tahun. Usia produktif seseorang sudah menurun cukup drastis pada usia sepuh seperti itu. Apalagi 73,97 persennya berpendidikan hanya sampai SD. Daya saing mereka tentu lebih rendah dalam strategi bertani gaya modern.
Berkaitan dengan hal ini tentu saja upaya regenerasi pelaku industri pertanian di Indonesia harus dibarengi dengan pembinaan untuk memberikan nilai tambah bagi produk yang dihasilkan sekaligus pemberian kedaulatan bagi para petani tersebut.
Menyinggung soal ini, CEO PT Kampung Kearifan Indonesia dengan produk Javara Indonesia Helianti Hilman berpendapat sektor pertanian perlu diarahkan ke farmpreneurship guna mendorong generasi muda terjun ke pertanian. “Harus didorong ke arah farmpreneurship. Petani plus plus,” kata dia melalui pesan singkat, Beberapa waktu lalu.
BACA JUGA :
Helianti yang cukup banyak terlibat aktif memberikan pelatihan kepada petani muda ini, menjelaskan farmpreneurship tidak saja fokus di hulu atau produksi. Namun, petani muda diajak mampu mengubah komoditas pertanian menjadi produk bernilai tambah melalui merek yang mereka ciptakan.
“Sehingga bukan hanya meningkatkan revenue, tetapi juga pride dignity sebagai entepreneur,” imbuhnya.
Dia menilai pendampingan untuk mengubah komoditas menjadi bernilai tambah belum banyak digarap. Pemerintah fokus pada peningkatan produksi, tetapi melupakan pascapanen. Petani hanya diposisikan sebagai bagian mata rantai, tanpa ada kedaulatan.
Lebih lanjut, Helianti meminta kebijakan pemerintah tidak menghambat para petani muda. Dia menyinggung soal kebijakan kelas mutu beras yang membagi beras khusus menjadi empat jenis.
“Urus izin PIRT untuk produk mereka sulit dan tidak pasti, karena pelatihan hanya dibuka jika peserta 10 orang. Tidak ada kepastian kapan 10 orang akan terkumpul,” imbuh dia yang tengah memberikan pelatihan bagi petani muda di Ende, Flores.