Mediatani – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) merumuskan ringkasan kebijakan (policy brief) strategi pengelolaan dan konservasi hiu dan pari di Indonesia.
Rekomendasi tersebut dibuat KKP pasca pelaksanaan Simposium Hiu dan Pari Indonesia ke-3 yang digelar beberapa waktu lalu.
Direktur Jenderal PRL Tb. Haeru Rahayu menyebutkan bahwa dalam policy brief yang dibuat tersebut terdapat 5 rekomendasi strategi pengelolaan dan konservasi hiu dan pari di Indonesia yang meliputi :
- Meningkatkan upaya pengumpulan data dan informasi hiu dan pari dalam identifikasi habitat kritis, pemetaan distribusi, dan pengumpulan data biologi serta populasi.
- Menggunakan format yang seragam dan legal dalam pengumpulan dan pelaporan data hiu dan pari secara nasional, termasuk sentralisasi data hiu dan pari melalui insiatif pembentukan kelompok kerja.
- Penguatan pengelolaan hiu dan pari di Indonesia, melalui mitigasi tangkapan sampingan (bycatch) atau modifikasi alat tangkap, peraturan perlindungan penuh atau terbatas beberapa spesies hiu dan pari yang terancam punah, peraturan terkait pendaratan utuh hiu dan pari di lokasi pendaratan, pengaturan ukuran tangkap minimum, dan legalisasi serta implementasi Rencana Aksi Nasional.
- Dokumentasi data dan informasi yang berbasis ilmiah. Hal ini dilakukan untuk mendukung pengelolaan hiu-pari dalam bentuk buku putih pembaharuan status hiu dan pari termasuk kisah sukses (success story) sebagai pembelajaran bagi pihak yang lebih luas.
- Meningkatkan kolaborasi antar pihak termasuk lembaga adat, pemerintah daerah dan penegak hukum dengan meningkatkan kapasitas dan bimbingan teknis di lokasi-lokasi target dengan terus memperhatikan kesetaraan gender.
Tebe mengatakan bahwa rekomendasi kebijakan yang dirumuskan berdasarkan beberapa temuan penting, isu, dan kesenjangan pengelolaan sesuai hasil simposium bulan lalu, baik dari aspek biologi dan ekologi, sosial dan ekonomi, serta pengelolaan dan konservasi.
Sementara, Direktur Konservasi dan Kenakeragaman Hayati Laut (KKHL) Andi Rusandi menyampaikan bahwa pada aspek biologi dan ekologi, ditemukan beberapa habitat penting dari hiu dan pari.
Beberapa wilayah ditemukannya habitat tersebut yakni perairan Alor yang menjadi habitat penting hiu tikus dan Selat Bali yang menjadi habitat penting untuk pari Mobula.
Andi juga mengungkapkan beberapa penelitian yang sudah banyak menggunakan pendekatan riset terbaru, yakni menggunakan penanda satelit jenis sPAT pada penelitian pari mobula, environmental DNA, penggunaan pendekatan video berumpan (Baited Remote Underwater Video/BRUV) yang bersifat pengamatan tidak langsung untuk pemantauan hiu dan pari.
Selain itu, Andi juga mengungkapkan temuan penting lannya, yaitu laju eksploitasi terhadap hiu martil (hammerhead shark) dan pari kekeh (Wedgefish) di Laut Jawa yang ditemukan sudah dalam tingkatan yang tinggi.
Untuk itu, menurutnya diperlukan upaya yang dapat mengatur penangkapan terhadap hiu martil dan pari kekeh di Laut Jawa agar kelestariannya tetap terjaga.
Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melaporkan bahwa masih banyaknya ukuran ikan yang masuk ke dalam kategori anakan.
“Ini bisa dijadikan pijakan untuk membuat rencana pengelolaan yang akan dilakukan,” jelas Fahmi.
Direktur Program Kelautan WWF Indonesia, Imam Musthofa menerangkan bahwa dari semua produk hiu yang ada, 72 % diantaranya merupakan bycatch, sehingga upaya konservasi yang perlu dilakukan pada hiu adalah bagaimana mengurangi terjadinya bycatch.
“Pengembangan teknologi mitigasi bycatch sangat penting. Kompetisi inovasi teknologi mitigasi perlu dilanjutkan,” pungkas Imam.
Upaya tersebut juga sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono terkait pemanfaatan jenis ikan yang masuk daftar Appendiks CITES (termasuk hiu dan pari) telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau Yang Tercantum dalam Appendiks CITES.