Mediatani – Berkah rezeki kini dialami oleh Anggit Mas Arifuddin. Ssosok pria yang tinggal di Dusun Ngabean, Desa Margorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman ini adalah seorang peternak ayam pheasant. Namanya cukup terkenal di kalangan pecinta ayam hias ini.
Di saat bisnis lain terpuruk, di masa pandemi Covid-19 ini permintaan ayam pheasant miliknya justru meningkat.
Pria lulusan Teknik Sipil ini akhirnya mulai mengenal ayam pheasant pada 2015 lalu.
Saat melihat ayam pheasant di Youtube, ternyata dirinya langsung jatuh cinta dengan keindahan ayam yang berasal dari pegunungan China itu. Dari situ, ia pun langsung tertarik budidaya ayam hias ini.
Budidaya hewan hias bukanlah hal baru bagi Anggit. Sejak masih duduk di bangku SMA pada 2010 lalu, dirinya sudah hobi membudidayakan berbagai jenis burung kicau, mulai dari kacer hingga murai batu.
Dua tahun berselang, Anggit lalu mendirikan JSP Farm. Nama JSP sendiri diambil dari huruf pertama nama ayahnya, Jumarlan Siswo Pranjono.
Setelah belajar dari para peternak ayam pheasant lainnya di Yogyakarta, akhirnya pada 2015 lalu Anggit memberanikan diri membudidayakan ayam cantik ini. Ia pun membeli sepasang ayam pheasant pertamanya seharga Rp3,5 juta.
“Jadi pertama beli itu kan ayam pheasant zaman dulu yang golden harganya mahal. Terus beli yang paling murah yang jenis ringneck pheasant itu zaman dulu sepasang masih Rp3 juta untuk indukan,” kata dia, mengutip dari merdeka.com.
“Terus akhirnya beli ringneck pheasant itu sepasang, terus diternak, ada anaknya, anaknya beberapa ekor dijual lama-lama bisa buat beli golden pheasant remaja. Nah mulai dari situ mulailah golden pheasant,” lanjutnya.
Berkat keuletannya, JSP Farm kini telah memiliki enam jenis pheasant berbeda, yakni ringneck pheasant, golden pheasant, silver pheasant, yellow pheasant, lady amherst pheasant, siamase fireback pheasant.
Belum puas dengan koleksinya, Ia pun masih menyimpan keinginan untuk membudidayakan jenis pheasant lainnya.
“Ada beberapa yang memang aku seneng ya besok Insya Allah mau ditambah satu atau dua jenis lagi. Nah ini malah tujuannya besok sudah tidak ke yang impor-impor lagi, tapi malah pengen mengembangkan asli Indonesia yang memang langka dan dilindungi-dilindungi itu,” jelasnya.
Perjalanan Anggit selama membudidayakan ayam pheasant tak selamanya berjalan mulus. Berbagai kesulitan pun pernah Ia hadapi.
“Yang namanya nyawa kadang-kadang ada yang sakit, mati. Anakan belum sampai dijual sudah mati, macem-macem seperti itu. Tapi menurutku alhamdulillah lancar-lancar saja dan penjualan alhamdulillah gampang,” ujarnya.
Tidak seperti ayam lainnya, ayam pheasant hanya bertelur setahun sekali, tepatnya di musim penghujan di bulan September hingga Desember. Di setiap musim kawin, satu indukan ayam pheasant akan menghasilkan 12-15 telur.
Sekali panen, Anggit bisa menjual ratusan pheasant remaja berumur minimal lima bulan ke berbagai daerah di Indonesia.
Harganya pun bervariasi. Jenis yang paling murah, ringnecked pheasant sepasang dijual Rp1,3 juta. Di atasnya, ada silver pheasant dan golden pheasant harganya Rp 6 juta, yellow pheasant Rp 7 juta, lady amherst pheasant Rp 13 juta, hingga siamase fireback pheasant Rp 15 juta.
Dari penjualan ayam pheasant remaja ini, Anggit bisa mengantongi uang hingga Rp250 juta setiap masa panen.
Anggit mengaku tak temui kesulitan berarti dalam memasarkan ayam pheasantnya. Ia lebih banyak memasarkan produknya secara online.
Apalagi seiring dengan semakin besarnya nama JSP Farm, pembelinya bahkan kini sudah mengantre sebelum stok terpenuhi sehingga mereka harus inden terlebih dahulu.
Tidak hanya ayam pheasant, Anggit pun kini pula sudah berhasil menangkarkan merak hijau Jawa di peternakannya.
Ia bahkan menjadi satu-satunya penangkar merak hijau yang berizin di Yogyakarta. Untuk bisa mendapatkan izin ini, Ia harus mengurusnya sampai ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.
Akan tetapi berbeda dengan ayam pheasant, Anggit tak bisa langsung menikmati hasil dari penangkaran hewan berbulu cantik ini. Pasalnya dua generasi pertama merak hijau Jawa ini masih menjadi milik negara.
“F-1 yang pertama ini tahun ini produksi, sehingga nanti 2022 itu sudah bisa jual menikmati hasilnya dari merak hijau. Sekarang antrean sudah 13 pasang alhamdulillah, dengan harga satu pasang Rp25 juta,” jelasnya.
Ramai Dikunjungi di Akhir Pekan
Setiap akhir pekan, JSP selalu ramai dikunjungi oleh para penghobi ayam pheasant dari seluruh Indonesia. Tak sedikit dari mereka tertarik belajar dari kesuksesan Anggit.
Pria satu anak ini pun selalu menerima mereka dengan tangan terbuka dan tak segan untuk berbagi ilmu.
“Jadi yang datang ke JSP Farm itu kebanyakan di hari Sabtu-Minggu. Dan alhamdulillah dari mana-mana. Nggak cuma dari sini tapi dari luar provinsi pun datang juga. Kadang-kadang pas libur panjang kan banyak yang libur ke Jogja, terus mereka hubungi dan ngomong kalo pengen mampir ke sini karena sebelumnya tau dari Youtube,“ jelasnya.
Kini dia tengah memperluas lahan peternakannya dengan membuat zona dua JSP Farm di lahan seluas 1.200 meter persegi. Saat ini zona dua JSP Farm ini sedang dalam proses pembangunan.
“Di situ banyak untuk merak-merak hijau dan pheasant-pheasant asli Indonesia yang dilindungi. Terus di situ nanti ada rumah limasan juga untuk santai-santai, untuk pengembangan burung, dan untuk kantor pusat JSP Farm,” terangnya.
Baginya, beternak ayam pheasant harus dengan hati. Dia memberikan saran kepada para peternak pemula agar lebih dulu menyukai ayam hias ini dan tidak mengejar keuntungan besar semata.
“Kalau mau ternak jangan ikut-ikutan. Jadi kalau saran saya cari lah kamu senangnya apa. Seneng ikan hias ya berternak ikan hias. Seneng pheasant ya beternak pheasant. Pokoknya didasari rasa senang dulu. Hobi bisa jadi hiburan. Kalau sudah didasari rasa senang itu nanti jalaninnya enak. Istilah jawanya nanti tidak kemrungsung ‘ini aku modalnya segini kandang bikinnya mahal ayam belinya mahal udah bertahun-tahun nggak produksi’ nanti malah kasihan ayam atau burungnya dituntut produksi terus nanti malah bosan,” sarannya. (*)