Kala Industri Sawit Mengurai Kemiskinan

  • Bagikan
Foto : Republika.co.id

Mediatani.co — Industri kelapa sawit tentu memiliki peran yang sangat penting dalam pemerataan pembangunan, terutama di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Industri ini juga inline dengan tiga prioritas yang dicanangkan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan, mengurangi pengangguran dan mengatasi ketimpangan pembangunan.

Pemerintah mengklaim industri kelapa sawit meberi sumbangan terhadap cita-cita Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pengentasan kemiskinan dan ketimpangan. Hal ini tercerminkan dari suburnya pertumbuhan industri komoditas unggulan yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan catatannya, setidaknya ada 14 juta kepala keluarga yang terlibat dalam industri sawit ini.

Peluang kerja bagi belasan kepala keluarga tersebut cukup merata. Dimana industri kelapa sawit tersebar di 22 provinsi dengan total luas lahan perkebunan yang mencapai 12 juta hektar. Tak hanya berdampak pada penyerapan tenaga kerja saja. Kontribusi dari industri kelapa sawit juga membuat pendapatan masyarakat meningkat.

Industri kelapa sawit juga terbukti penyerap tenaga kerja untuk sektor pertanian. Industri kelapa sawit juga menciptakan lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena kegiatan perekonomian di sekitar perkebunan sebenarnya cukup luas dan beragam. Lebih lanjut, tingkat kemiskinan di provinsi penghasil sawit tercatat cukup rendah.

“Didalamnya sangat berperan dalam pengentasan kemiskinan dan juga pengembangan remote area. Yang tadinya belum tersentuh pembangunan, kini tersentuh berkat industri ini,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Darmin Nasution dalam acara 13th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2018 Price Outlook yang di Gelar di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/11).

Selain itu, peningkatan produksi dan ekspor dari sektor kelapa sawit ini, setiap tahunnya disebutkan Darimin, bisa menjadi bukti bahwa perkembangan industri ini memberikan dampakpeningkatan pendapatan bagi pekerja di sektor kelapa sawit tersebut.

Nah, melihat pada tingkat produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO) per tahun 2016 lalu mencapai 35 juta ton. Sementara itu, tahuni 2017 ini sesuai dengan target dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) diproyeksi meningkat menjadi 36,5 juta ton.

Hal ini menurut Darmin, tentunya memberikan peningkatan pada pendapatan pekerja di sektor industri kelapa sawit. Untuk itu, sektor industri ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari seluruh pemangku kebijakan. Mulai dari pemerintah pusat, dunia usaha, pemerintah daerah (pemda), petani kecil, hingga masyarakat pada umumnya.

“Tujuannya, agar daya saing dan manfaat dari sektor ini terus meningkat, tak hanya secara industri, namun juga secara nasional terhadap pertumbuhan ekonomi Tanah Air,” pungkasnya.

Mengangkat Daya Saing Industri Sawit

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah meningkatkan daya saing industri kelapa sawit di tanah air guna menghadapi pasar dunia yang semakin ketat.

Saat ini, industri sawit tanah air disebut tengah menghadapi sejumlah sentimen, mulai dari resolusi Uni Eropa hingga penerapan tarif tinggi terhadap bea masuk anti dumping (BMAD) biodiesel Indonesia yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) dan India.

“Kami melihat negara-negara pengimpor lebih proyektif dan lebih ketat terhadap sawit Indonesia. Ini membuat persaingan di pasar global menjadi tidak pasti,” ujar Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono, Kamis (2/11).

Joko melihat, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri sawit Indonesia. Pertama, memperluas jangkauan dan penetrasi pasar ekspor sawit ke beberapa negara tradisional maupun nontradisional.

Kedua, membuat iklim investasi lebih bergairah lagi, sehingga aliran modal ke dalam negeri untuk sektor ini terus menjanjikan. “Misalnya dengan menyederhanakan regulasi,” katanya.

Ketiga, memperkuat pengembangan industri kelapa sawit secara keberlanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), khususnya dari sisi penataan institusi dan kualitas sertifikat ISPO. “ISPO harus diperkuat agar ISPO lebih kredibel dan diakui secara internasional,” imbuhnya.

Adapun hingga kini, pihaknya dan pemerintah juga telah melakukan upaya peningkatan daya saing industri sawit, antara lain melalui peremajaan perkebunan (replanting) sawit, khususnya kepada perkebunan petani kecil (small holder) dan penguatan kemitraan antara petani kecil dengan perusahaan besar.

Terkait tiga permintaan GAPKI itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa pemerintah memang terus menampung dan mengupayakan usulan dari para pengusaha itu. Ia mencontohkan soal perluasan jangkauan dan penetrasi pasar ekspor yang menurutnya saat ini telah diuapayakan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita ke beberapa negara nontradisional, seperti Pakistan, Iran, Nigeria, hingga Afrika Selatan (Afsel).

“Saya sendiri sudah ke Iran dan India. Mendag juga sudah ke Nigeria, Afsel, dan lainnya. Semua sudah kami lihat,” kata Darmin pada kesempatan yang sama.

Hanya saja, memang hasilnya tak bisa instan. Sebab, hubungan kerja sama perdagangan internasional perlu waktu dan kesepakatan yang baik agar nantinya tak berujung masalah dan bisa menguntungkan kedua negara.

Selanjutnya, soal iklim usaha. Darmin bilang, pemerintah tengah mengupayakan pencetakan sertifikat lahan sebagai jaminan bentuk hukum, baik kepada petani kecil maupun perusahaan besar. Sebab, legalitas menjadi salah satu indikator untuk menjamin iklim investasi yang kondusif.

Adapun hal ini dilakukan atas dasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasan Tanah dalam Kawasan Hutan. Langkah nyatanya, kata Darmin, sudah dilakukan bersamaan dengan program replanting di Kabupaten Musi Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan pada pertengahan Oktober lalu.

Saat itu, pemerintah akan meremajakan sekitar 4.400 hektar perkebunan sawit. Namun, ternyata sekitar 1.300 hektar diantaranya masih bermasalah lantaran masuk ke kawasan hutan. Akhirnya, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan izin agar lahan tersebut bisa digunakan oleh para petani kecil di kawasan itu.

“Kami juga sedang tunggu Instruksi Presiden (Inpres), kami mau tunggu aturan itu untuk menyelesaikan dan membuat kejelasan pada semua kepemilikan lahan, baik perkebunan kelapa sawit kecil dan besar. Harus ada peta dan datanya,” terangnya.

Terakhir, soal ISPO. Darmin mengatakan, penguatannya masih terus diupayakan agar standar tersebut sejajar dengan internasional. Sebab, diakuinya memang ISPO menjadi satu dari tiga pilar kebijakan pengembangan keberlanjutan industri sawit yang digagas oleh kementeriannya.

Salah satunya dengan memperkuat pendataan terhadap seluruh transaksi di industri ini, termasuk pada pabrik-pabrik penyerap hasil perkebunan kelapa sawit.

“Ke depan, semua pabrik beli dari siapa saja, harus jelas. Dengan begitu, kami bisa klaim bahwa industri ini memenuhi standar, ini sama dengan Malaysia. Dia tahu siapa beli dimana, stoknya tinggal berapa, itu semua pengaruhi pembentukan harga juga,” pungkasnya.

Sehubungan dengan hal ini, menurutnya, pemerintah menghadapi tantangan yang sangat besar dalam hal inovasi dan teknologi. Indonesia menghadapi perkembangan baru yaitu peningkatan blue collar job sementara white collar job diprediksi akan menurun.

Robot akan lebih banyak mengambil alih pekerjaan manusia, bahkan akan menggantikan peran tenaga kerja manusia sekitar 20 tahun ke depan. Kondisi ini mengakibatkan upaya pengurangan kemiskinan menjadi semakin tidak mudah. “Industri kelapa sawit selama ini merupakan penyerap tenaga kerja yang cukup penting,” katanya.

Kontribusi sektor pertanian sebesar 32,9% untuk penyerapan tenaga kerja, sektor sawit menunjukkan tren semakin meningkat. Dari 3,4% pada 2012 naik mencapai 4,7% pada 2015 dan 4,9% pada 2016.

Industri kelapa sawit juga terbukti penyerap tenaga kerja untuk sektor pertanian. Industri kelapa sawit juga menciptakan lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena kegiatan perekonomian di sekitar perkebunan sebenarnya cukup luas dan beragam. Lebih lanjut, tingkat kemiskinan di provinsi penghasil sawit tercatat cukup rendah.

Ia juga mengungkapkan kembali bahwa CPO merupakan salah satu sumber pendapatan devisa yang sangat penting. Tercatat bahwa sampai tahun ini industri kelapa sawit merupakan penyumbang devisa terbesar nomor satu untuk sektor pertanian. Sebagai komponen tunggal, CPO menyumbang lebih dari USD14 miliar.

  • Bagikan