Kenaf, Solusi Budidaya Ramah Lahan Gambut

  • Bagikan

Mediatani – Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawira Atmadja menyatakan jika lahan gambut ingin dimanfaatkan untuk keperluan budidaya berorientasi ekonomi, maka pelaksanaannya harus sesuai dengan sifat-sifat atau karakter spesifik lahan itu.

Selama ini lahan gambut dikenal  sebagai tanah marginal yang tidak terlalu subur, namun memiliki peran yang sangat penting bagi kelestarian lingkungan sebagai penyimpan karbon terbesar setelah hutan tropis.

Saat ini, keberadaan lahan gambut di Indonesia semakin terancam akibat pengelolaan untuk keperluan budidaya yang tidak sesuai.

Hartono mengungkapkan jika lahan gambut yang rusak disebabkan oleh cara pengelolaannya yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan karakteristik lahan gambut. Selama ini pengelolaan lahan gambut lebih banyak dikeringkan untuk membudidayakan komoditas-komoditas yang nyatanya tidak begitu cocok di lahan gambut.

Namun komoditas yang tidak cocok dengan lahan gambut itu memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan di pasar. Hal inilah yang menyebabkan komoditas itu dengan terpaksa tetap ditanam, seperti komoditas kelapa sawit dan karet.

Untuk mempertahankan kelestarian lahan gambut, sesuai sifatnya lahan itu harus selalu basah dan tergenang air. Namun jika komoditas yang dipilih tidak cocok dengan genangan air, maka lahan itu terpaksa dikeringkan dengan cara dibuatkan kanal-kanal, sehingga saat hujan, air yang harusnya menggenangi lahan jadi terbuang dan tidak tersimpan sebagai cadangan saat kemarau.

Lahan gambut harus dimanfaatkan dengan sangat hati-hati. Hanya gambut dengan fungsi budidayalah yang bisa dimanfaatkan, dan selebihnya harus dilindungi.

Tidak banyak komoditas yang bisa ditanam di lahan gambut sembari mempertahankan agar lahan tetap basah. Sejumlah komoditas alternatif yang dinilai cocok dengan karakter gambut terus dikaji, dan di antara komoditas yang cocok itu adalah tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus) yang dikenal dapat menghasilkan serat mirip dengan yute dan rosela.

Ketua Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakuktas Kehutanan UGM Sigit Sunarta mengatakan bahwa tanaman ini memiliki adaptabilitas yang bagus, dan bisa tumbuh dan berkembang biak di Indonesia dengan kegiatan pemuliaan tanaman yang intensif pada tiga dekade terakhir ini.

Tanaman ini sudah bisa beradaptasi pada lahan dengan tingkat keasamannya seperti lahan gambut. Tanaman ini menghasilkan serat alam yang memiliki karakteristik panjang berat rata-rata 2.740 mikrometer atau lebih panjang dari serat kayu, dan memiliki diameter rata-rata 20 mikrometer.

Namun sejak mulai dikembangkan oleh pemerintah tahun 1970 untuk fokus produksi karung sebagai hasil pertanian rakyat, mulai awal tahun 2000-an tanaman ini kalah bersaing dengan komoditas plastik sebagai bahan utama karung di pasaran.

Kepala Sub Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Kementerian Perindustrian Lila Harsyah Bakhtiar mengatakan bahwa kenaf dapat digunakan untuk beberapa produk, seperti karung goni, karpet, tali, geotekstil, dan kerajinan tangan. Selain itu, tanaman ini juga telah digunakan oleh pabrik mobil seperti Toyota sebagai bahan baku komponen interior.

Komoditas ini memiliki usia panen yang cukup cepat, sekitar 4 hingga 5 bulan. Namun ketersediaannya masih sangat jarang ditemukan. Kenaf termasuk dalam kategori serat panjang dalam kebutuhan industri, walalupun serat batangnya termasuk serat pendek.

Kementerian Perindustrian melalui Balai Besar Pulp dan Kertas juga telah memulai penelitian tentang tanaman ini. Mereka menemukan keunggulan kenaf yang mempunyai kadar holo selulosa dan alfa selulosa yang sesuai. Artinya, tanaman ini bisa dipakai sebagai bahan baku industry sehingga kebutuhan bahan kimianya dapat ditekan.

Namun saat ini perkembangan budidaya kenaf di Indonesa malah semakin menurun. Sebab, lahan untuk kenaf harus berkompetisi dengan tanaman pangan. Dan untuk mengatasi kendala tersebut, pengembangan kenaf diarahkan ke lahan-lahan suboptimal, seperti lahan gambut.

 

  • Bagikan