Kenaikan HPP Beras Dinilai Tidak Pertimbangkan Biaya Produksi dan Modal Petani

  • Bagikan
Ilustrasi: Gabah petani yang siap digiling

Mediatani – Badan Pangan Nasional (Bapanas) dinilai telah menetapkan harga pembelian pemerintah atau HPP beras dan gabah yang merugikan petani. Kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan sejumlah faktor yang ditanggung petani seperti peningkatan biaya produksi dan modal.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, dilansir Tempo, Senin, 21 Februari 2023.

Menurut Henry, Pemerintah luput dari pertimbangan sejumlah komponen seperti kenaikan harga pupuk, kenaikan sewa tanah, dan kenaikan biaya upah pekerja bagi petani yang tidak mengusahakan sawahnya sendiri.

Bapanas menyepakati batas atas harga pembelian atas gabah kering panen (GKP) setelah dilaksanakannya rapat koordinasi dengan sejumlah pelaku usaha, yakni  PT Wilmar Padi Indonesia, PT Surya Pangan Semesta, PT Buyung Poetra Sembada, PT Belitang Panen Raya.

Karena itu, Henry mempersoalkan tidak dilibatkannya perwakilan petani dalam perumusan kebijakan tersebut.

Adapun harga batas atas gabah kering panen di tingkat petani yang ditetapkan Bapanas sebelumnya yaitu sebesar Rp 4.550 per kilogram. Kemudian GKP Tingkat Penggilingan Rp 4.650 per kilogram, Gabah kering giling (GKG) tingkat penggilingan Rp 5.700 per kilogram, dan beras medium di gudang Perum Bulog Rp 9.000 per kilogram.

Sedangkan floor price atau harga batas bawah pembelian gabah atau beras masih mengikuti HPP beras yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020.

Dalam aturan tersebut, GKP tingkat petani Rp 4.200 per kilogram, GKP tingkat penggilingan Rp 4.250 per kilogram, GKG tingkat penggilingan Rp 5.250 per kilogram, dan beras medium di gudang Perum Bulog Rp 8.300 per kilogram.

Henry menilai harga tersebut menguntungkan bagi korporasi pangan skala besar karena memberi mereka ruang untuk membeli gabah dari petani dengan harga murah.

Selain itu, Ia memprediksi hasil panen yang diolah dan didistribusikan oleh korporasi dengan standar premium dan harga yang tinggi. Jika hal tersebut terjadi, bukan hanya berdampak buruk bagi petani, namun juga konsumen.

Lebih lanjut Henry menyampaikan, SPI sebelumnya sudah mengusulkan Permendag Nomor 24 Tahun 2020 yang mengatur HPP direvisi karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya yang ditanggung oleh petani.

“Hal ini menjadi penting karena saat ini tengah memasuki masa panen raya, sehingga penetapan harga yang layak menjadi sangat krusial,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menilai ketetapan batas atas HPP beras dan gabah ini bisa mengontrol harga beras di tingkat petani agar tidak terlalu tinggi. Dengan begitu, persaingan penggilingan untuk mendapatkan gabah atau beras dapat terjaga.

“Kami sepakati harga pembelian gabah dan beras menjelang masa panen raya padi bulan Maret 2023. Langkah ini dalam rangka menjaga stabilisasi harga gabah dan beras di tingkat petani di hulu, hingga konsumen di hilir,” ujar Arief Prasetyo.

Arief juga menyampaikan kesepakatan terkait HPP gabah tersebut merupakan komitmen yang dibangun bersama antar pemerintah, penggilingan, serta pelaku usaha perberasan lainnya. Hal tersebut juga merupakan salah satu langkah pemerintah dalam melindungi penggilingan padi skala kecil dan mempersiapkan Perum Bulog sebagai off taker saat panen raya.

  • Bagikan