Mediatani – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) resmi menetapkan 20 jenis ikan bersirip (pisces) sebagai jenis satwa dilindungi. Aturan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 1 Tahun 2021.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menandatangani Kepmen tersebut pada tanggal 4 Januari 2021.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut TB Haeru Rahayu dalam keterangan resminya menjelaskan bahwa penetapan 20 jenis ikan yang berstatus dilindungi itu bertujuan untuk menjaga dan menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan.
Upaya tersebut dilakukan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Diterbitkannya penetapan ini juga merupakan tindak lanjut pemisahan Otoritas Pengelola (Management Authority/MA) CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) untuk jenis ikan bersirip (pisces) ke pihak KKP dari yang semula kewenangan pengelolaannya berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Untuk itu, 20 jenis ikan bersirip (pisces) yang telah ditetapkan dalam Permen LHK Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi perlu ditetapkan lagi melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan,” jelasnya.
Tebe menegaskan bahwa status perlindungan yang ditetapkan kepada 20 jenis ikan dan penetapan KKP sebagai MA CITES untuk jenis ikan bersirip (pisces), diharapkan nantinya KKP akan terus memperkuat aspek kelembagaan, pengawasan, pelestarian, pengembangbiakan, dan karantina ikan.
Tebe juga mengatakan dalam menjalankan mandat CITES tersebut, pihaknya akan didukung oleh unit kerja lainnya, seperti aspek karantina, budidaya, pengawasan, tangkap (penangkapan) akan bersinergi dalam pelaksanaannya ke depan.
Sementara itu, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) Andi Rusandi menyebutkan jenis ikan bersisik dilindungi yang berjumlah dua puluh tersebut, yaitu meliputi: pari sungai tutul, pari sungai raksasa, pari sungai pinggir putih, arwana Kalimantan, belida Borneo, belida Sumatera, belida lopis, belida Jawa, ikan balashark, wader goa, ikan Batak, pasa, selusur Maninjau, pari gergaji lancip, pari gergaji kerdil, pari gergaji gigi besar, pari gergaji hijau, pari kai, ikan raja laut, dan arwana Irian.
“Untuk ikan arwana Irian (Scleropages jardinii) statusnya dilindungi terbatas, sedangkan untuk 19 jenis lainnya statusnya dilindungi secara penuh,” terang Andi.
Adapun maksud dari jenis ikan yang berstatus perlindungan penuh adalah seluruh tahapan siklus hidup termasuk bagian tubuh dan produk turunan ikan tersebut akan dilindungi. Sedangkan ikan yang berstatus perlindungan terbatas seperti arwana Irian adalah ikan yang mendapat perlindungan berdasarkan periode waktu tertentu dan ukuran tertentu.
“Untuk ikan arwana Irian, ketentuannya dilarang menangkap sepanjang waktu, kecuali anakan ukuran 3 cm sampai dengan 5 cm dapat ditangkap pada bulan November, Desember, Januari, dan Februari,” pungkasnya.
Perlu diketahui, CITES atau konvensi perdagangan internasional untuk berbagai spesies flora dan satwa liar terancam adalah suatu pakta perjanjian internasional yang berlaku sejak tahun 1975.
Konvensi ini memiliki fokus utama yaitu melindungi tumbuhan dan satwa spesies liar terancam terhadap aktifitas perdagangan internasional yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut.
Meskipun secara hukum CITES mengikat para pihak, namun bukan CITES adalah pengganti hukum di masing-masing negara. CITES hanya merupakan dasar kerja yang harus dijunjung oleh para pihak yang membuat undang-undang untuk implementasi CITES di tingkat nasional.
Seringkali, undang-undang perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang berlaku di tingkat nasional masih belum ada (khususnya para pihak yang belum meratifikasi CITES), hukuman yang tidak sesuai dengan tingkat kejahatan, dan minimnya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar.