Mediatani – Yuli Pamungkas (35) tak menyangka jika usaha ternak jangkrik cliring atau jangkriknya menjadi sumber penghidupannya selama masa pandemi Covid-19.
Warga Pedukuhan Cekelan, Kelurahan Karangsari, Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta itu awalnya hanya coba-coba beternak jangkrik karena usaha pembuatan batako miliknya lesu.
Ternyata, kini tiap bulan dirinya bisa memperoleh keuntungan sebesar Rp 400.00 dari dua kotak kandang jangkrik miliknya. “Lumayan untuk tambahan penghasilan sejak batako sepi karena ak ada orang membangun,” kata Yuli di rumahnya, Selasa (23/2/2021) dikutip mediatani.co, dari situs berita kompas.com, Jumat (26/2/2021).
Semula usaha batakonya, kisah Yuli, dirinya bisa melayani pemesanan sampai 5.000 batako dalam satu bulan sebelum pandemi. Namun hal itu mendadak tak sampai 1.000 batako pesanan.
Yuli lantas mencoba memutar otak untuk bertahan di tengah Pandemi. Dia melihat Takul (27), seorang kerabat sekaligus tetangga sebelah rumah, yang punya kegiatan menetaskan hingga pembesaran jangkrik.
“Saya tanya-tanya dan saya ikut,” kata Yuli. Dia pun akhirnya memutuskan ikut usaha pembesaran jangkrik serupa.
Dengan modal Rp 2.250.000, Yuli lalu membeli empat kotak kandang yang berukuran masing-masing panjang 2,4 meter, pakan ayam broiler jenis BR, daun pisang kering (klaras) sebagai rumah-rumahannya.
Sebanyak 1 kilogram telur jangkrik juga dibeli untuk ditetaskan. Dia memakai setengah ruang produksi batako untuk ternak jangkrik ini. Penetasan dan pembesaran pun berlangsung dengan cara tradisional.
Ia lalu memasang penghangat kotak kandang berupa lampu 5 Watt agar jangkrik bertelur maksimal dan terus hangat.
Sehari-hari, dia kemudian memberi pakan BR dan menyemprot air tiga kali sehari. Dua hari sekali, Yuli memberi pakan tambahan berupa daun hijau dan pepaya muda.
Alhasil, Yuli pun bisa merasakan panen jangkrik setiap sebulan atau tepatny 30 hari sekali sampai sekarang. “Sekarang sudah mau panen yang keempat,” kata Yuli. Pembesaran jangkrik seperti ini pun dirasa cocok sebagai usaha sampingan.
Tidak jauh beda, pemuda bernama Jumadiyo (25) di Pedukuhan Kopat, Karangsari, juga merasakan hal sama. Jumadiyo sudah melakukan usaha jangkrik tiga bulan belakangan dengan modal Rp 800.000.
Menurutnya, usaha ini tidak rumit namun hasil lumayan. Telur dibeli dari pengepul jangkrik, ditetaskan, jadi jangkrik anakan, dibesarkan hingga siap dipanen oleh pengepul. Langkah itu, dijelaskannya memerlukan waktu sekitar empat minggu.
“Saya sudah dua kali panen,” kata Jumadiyo. Keuntungan usaha ini pun tergantung harga jual jangkrik yang naik turun di rentang Rp 20.000 – 25.000 per kilogram. Kebetulan Jumadiyo memanen di harga Rp 23.000 beberapa waktu lalu. Dirinya pun bisa menghasilkan Rp 1.750.000 dalam sekali panen.
Keuntungan bersih setelah dikurangi biaya sekitar Rp 1.000.000. “Paling tantangannya adalah predator telur dan jangkrik, seperti semut yang memakan telur, cicak sampai tikus. Tidak punya teknologi khusus menghadapi hama. Kalau ketemu ya hamanya dimusnahkan saja,” kata Jumadiyo.
Tak hanya untuk penghasilan tambahan, Takul, salah satu peternak pembesaran jangkrik juga menceritakan, usaha seperti ini sebenarnya bisa menjadi penghasilan utama.
Namun, perlu usaha yang lebih besar untuk melakukannya. “Pernah ada yang punya 60 kotak dengan mempekerjakan enam orang,” kata Takul.
Masih dikutip dari sumber yang sama, keuntungan serupa pula dirasakan Irwan (37) warag Tegal Perang, Kalurahan Tawangsari, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo.
Awalnya, Irwan ikut usaha pembesaran jangkrik pada 2013. Dia mengambil telur dari pengusaha indukan jangkrik. Semula cuma dua kotak, dan terus berkembang sampai 10 kotak.
Seiring berjalannya waktu, usaha indukan surut, para peternak pembesaran jangkrik kesulitan mendapat telur, maka Irwan pun memberanikan diri terjun ke indukan mulai 2016.
“Teman indukan off, sementara petani membutuhkan. Maka kita bikin sendiri,” ucap Irwan.
Kini, dia punya lima kotak indukan. Kotaknya berukuran sama dengan kotak pembesaran pada umumnya. Hanya saja, prosesnya memang berbeda. Produksi telur berlangsung lebih lama, dari menetas, tumbuh besar hingga kembali bertelur di tengah siklus hidup jangkrik yang hanya sekitar dua bulan saja.
Setiap kotak mampu menghasilkan 10-13 kilogram telur setiap bulan dengan harga antara Rp 200.000 – 230.000 per kilogram. Dalam proses indukan ini, dia kemudian memanen telur dalam dua hingga tiga hari sekali.
Telur ini kemudian yang dijual ke para peternak pembesaran jangkrik. Kini, ia pun bisa menyuplai telur ke 200 kotak yang tersebar di berbagai pedukuhan.
“1 kilogram bisa untuk 3-4 kotak, tapi tidak aktif semua,” kata Irwan.
Setiap harinya, ujar Irwan, ia mampu memanen dari petani pembesaran jangkrik. Dikumpulkannya untuk dijual secara ecer ke berbagai kota, utamanya, Klaten, Solo, Magelang hingga daerah Prambanan Yogyakarta.
Semua masih untuk konsumsi pakan burung berkicau seperti Murai, Cucak Ijo, Kacer hingga Jalak. Irwan mengungkapkan bahwa dirinya tidak belajar secara khusus mengenai budidaya jangkrik ini.
Pengalaman sejak 2013 dan ketelatenan menjadi guru hingga pengetahuannya mumpuni. Irwan mengakui, usaha pembesaran jangkrik ini semakin dilirik di tengah Pandemi Covid-19.
Pasalnya, kotak yang tadinya tidak aktif mulai diaktifkan peternak pembesaran. Bahkan, ada beberapa peternak baru yang mulai mencoba usaha pembesaran ini.
“Ternak jangkrik tidak terpengaruh (Covid-19). Awal Covid ini malah tambah 50 boks (yang aktif),” kata Irwan. Sekalipun terlihat mudah, usaha ini bukan berarti tanpa tantangan. Banyak kendala yang akan dihadapi.
Dia pun menyebut bisnis ini tergantung harga pasar karena jumlah panen tingkat petani pembesaran. Selain itu, pada musim tertentu akan memengaruhi siklus hidup maupun siklus berkembang biaknya.
Belum lagi predator jangkrik dan tergantung pula pada ketelatenan tiap usaha pembesaran. Dengan masih memanfaatkan teknologi tradisional, tentu semua tantangan itu begitu besar. (*)