Kolam Lele di Kolong Tol Becakayu Gunakan Sistem Bioflok

  • Bagikan
Kolam Lele di Kolong Tol Becakayu Gunakan Sistem Bioflok.

Mediatani – Untuk menopang kebutuhan pangan perikanan, pemerintah terus mengajak masyarakat untuk menerapkan teknologi yang mampu meningkatkan produtivitas di sub-sektor budidaya. Salah satu teknologi inovasi yang saat ini cukup populer di dunia budidaya yaitu sistem bioflok.

Teknologi budidaya yang menggunakan ikan sistem bioflok adalah suatu teknik budidaya yang pada dasarnya menciptakan rekayasa lingkungan dengan mengandalkan pasokan oksigen dan memanfaatkan mikroorganisme yang secara langsung dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan.

Prinsipnya, sistem ini mengubah senyawa organik dan anorganik yang terdiri dari kabon, oksigen, hidrogen, dan nitrogen untuk menjadi massa sludge (endapan kotoran dan sisa pakan) berbentuk bioflok. Proses perubahan tersebut membutuhkan peran bakteri pembentuk gumpalan sebagai bioflok.

Teknik ini menjadi populer dikalangan peternak lele karena dinilai mampu meningkatkan produktivitas panen yang lebih tinggi, bahkan hingga tiga kali lipat. Selain itu, dengan metode bioflok ini, lahan yang digunakan menjadi tidak terlalu luas dan hemat air. Maka dari itu, bioflok dianggap suatu solusi efektif dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat serta menjadi cara ekonomis bagi para pebisnis perikanan terutama budidaya.

Atas dasar itulah sistem bioflok ini juga diterapkan oleh Kelompok Tani Urban Farming Pilar Jati, Cipinang Melayu, Jakarta Timur yang membudidayakan ikan lele pada kolong Tol Becakayu. Dana yang digunakan untuk membuat ikan lele sistem bioflok itu berasal dari swadaya masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani tersebut.

“Untuk modal kita kolaborasi antara warga dan PPSU sebagai anggota Kelompok Tani Pilar Jati juga di dorong oleh pemerintah setempat,” ujar Ketua Kelompok Tani Urban Farming Pilar Jati, Harun Hairiadi dilansir dari SariAgri, Rabu (3/2/2021).

Harun memaparkan bahwa saat ini di lokasi tersebut terdapat tiga kolam lele dengan sistem bioflok yang berukuran diameter 3. Namun dari tiga kolam itu, baru dua kolam yang sudah ditebar benih ikan lele dengan masing-masing kolam berisi 3.000 ekor. Menurutnya, jumlah benih yang ditebar sudah tepat, karena jika lebih akan menghambat perkembangan ikan.

Harun mengatakan belum menemui kendala selama memulai usaha budidaya bioflok ini. Hanya saja, kelompok taninya harus menyiapkan modal setidaknya Rp30 ribu untuk membeli pakan. Ke depannya, kelompok tani juga berencana untuk melakukan pemijahan ikan di lokasi tersebut.

Dia mengungkapkan budidaya yang menggunakan sistem bioflok itu dapat menekan pengeluaran biaya pakan. Keuntungan tersebut dapat dilihat dari pemberian pakan ikan lele yang bisa hanya dilakukan dalam seminggu sekali. Adapun jumlah pakan yang diberikan itu ditentukan berdasarkan ukuran lele yang dihitung setiap minggunya.

“Biasanya dilakukan cek timbangan untuk menentukan jumlah pakan, dari 100 persen kebutuhan pakan hanya 30 persen yang murni menjadi daging lele 70 persennya jadi limbah. Untuk 3.000 bibit lele usia 40 hari ini kita kasih sebanyak 300 gram per hari, kalau yang sudah besaran sedikit kita kasih 500 gram per hari,” tandasnya.

Dengan budidaya sistem bioflok, ikan lele yang dipelihara dapat dipanen pada usia 80 hari dengan ukuran 8–10 ekor per kilogramnya.

Budidaya dengan sistem bioflok ini sudah banyak diterapkan oleh pembudidaya ikan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pasalnya, inovasi budidaya ini memang sangat efektif dan efisien dalam menekan penggunaan air, lahan atau kolam serta mempunyai kemampuan adaptasi lebih baik dengan perubahan iklim.

Dengan adanya sistem bioflok ini, pembudidaya ikan di daerah terpencil juga dapat terdorong untuk memenuhi ketahanan pangan dan meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar wilayahnya.

  • Bagikan