Mediatani – Dampak konflik Rusia-Ukraina telah membawa berbagai macam krisis bahan baku termasuk bahan pangan. Peringatan tersebut disampaikan majalah ternama “The Economist” melalui sebuah laporan, yang memperingatkan akan adanya ancaman kelaparan global.
Lemahnya sistem pangan global akibat guncangan pandemi Covid-19 dan krisis energi, diprediksi akan semakin semakin mengalami pelemahan. Hal tersebut kemudian diperparah dengan rentetan sanksi Barat terhadap Rusia.
“Ekspor gandum dan minyak sayur Ukraina sebagian besar telah berhenti,” jelas The Economist di laporannya pada Minggu (22/5/2022).
Dalam laporan majalah tersebut, disebutkan bahwa Ukraina dan Rusia memasok sekitar 12 persen kebutuhan kalori global berupa gandum dan biji-bijian hasil pertanian.
Memasuki awal pekan ini, harga gandum – sebelumnya, naik 53 persen sejak awal 2022 – dilaporkan kembali mengalami kenaikan sebesar 6 persen tak lama setelah India mengeluarkan keputusan untuk melarang semua ekspor komoditas pangan vital itu.
Keputusan strategi tersebut diambil oleh India menyusul serangan gelombang panas yang melanda wilayah India dan mempengaruhi stok pangan mereka
Sejak musim 2021-2022, tepat Juli tahun lalu, Rusia menyuplai sekitar 16 persen kebutuhan gandum global. Sementara itu, Ukraina menyuplai sekitar 10 persen.
Namun, konflik antar kedua negara tersebut memaksa mereka untuk melarang ekspor biji-bijian. Sejak Februari hingga 30 juni, Rusia telah membatasi ekspor gandum, gandum hitam, jagung dan barley. Sementara itu, Ukraina sendiri telah menutup satu-satunya pelabuhan yang tersisa di Odessa.
Situasi ini semakin diperburuk setelah Kazakhstan, salah satu negara pemasok biji-bijian utama lainnya, melarang sebagian besar ekspor untuk memproteksi pasokan makanan domestiknya.
Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tidak pasti untuk memperoleh cukup makan melonjak mejadi 1,6 miliyar. Sementara itu, hampir 250 juta terancam kelaparan. Ratusan juta lebih bisa terancam jatuh ke dalam kemiskinan.
Pada 18 Mei, Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan, beberapa bulan mendatang “ancaman kekurangan pangan global” akan datang dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun.
Para ahli menerangkan kepada surat kabar Izvestia Rusia, harga gandum sejak awal tahun telah mengalami peningkatan lebih dari 60 persen. Lonjakan harga tersebut, terang mereka, disebabkan oleh konflik antar Rusia-Ukraina, yang merupakan negara yang menyediakan hampir sepertiga ekspor gandum dunia.
Selain itu, Sanksi anti-Rusia telah memaksa perusahaan internasional agar memutuskan hubungan bisnis lama dan meninggalkan negara tersebut, yang menyebabkan terjadinya gangguan pasokan.
Sebagai contoh, baru-baru ini Uni Eropa mengeluarkan keputusan melarang kerja sama dengan Pelabuhan Laut Komersial Novorossiysk Laut Hitam, yang tidak lain merupakan pintu gerbang utama ekspor biji-bijian.
Sementara itu, New Delhi memberitakan, harga gandum berjangka di Chicago mengalami pelonjakkan sebesar 6 persen menjadi $12,47 per gantang, nilai tersebut merupakan nilai tertinggi dalam dua bulan. Sedangkan harga gandum di Eropa mencapai rekor tertinggi sekitar $461 per ton.
Meskipun krisis biji-bijian tengah dirasakan di seluruh dunia, tetapi impact yang paling besar dirasakan di Afrika, yang sangat bergantung pada ekspor dari wilayah Laut Hitam.
Sebanyak 90 persen kebutuhannya dipenuhi dari ekspor kawasan ini. Negara-negara barat menuduh Rusia telah melancarkan “perang gandum” dan menyalahkan Moskow atas krisis pangan yang terjadi saat ini.
Namun para ahli menyatakan bahwa Rusia bukan satu-satunya yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis saat ini. Rusia tidak melarang ekspor tetapi menerapkan kebijakan bea dan kuota sementara untuk memproteksi pasar domestik mereka. Sedangkan Ukraina, secara aktif stok biji-bijiannya dikeluarkan dari gudang di bawah perlindungan Uni Eropa.
Diplomat top blok, Josep Borrell baru-baru ini menjelaskan bahwa Ukraina harus dibantu agar dapat terus memproduksi dan mengekspor biji-bijian dan gandum.
Menurut Borrel, fasilitas penyimpanan Ukraina yang sekarang penuh, perlu dikosongkan untuk memberi ruang bagi produksi baru biji-bijian dan gandum.