Kontestasi Dibalik Kalimat “Sawit Bukan Penyebab Deforestasi”

  • Bagikan

Oleh : Rifqi R Hidayatullah*)

Kontestasi ekonomi politik saat ini semakin memanas pasca dikeluarkannya hasil penelitian Guru Besar IPB Prof. Yanto Santosa dan menegaskan bahwa “Sawit Bukan Penyebab Deforestasi”.  Hasil penelitian ini tentu tidak lepas dari kritikan para aktivis lingkungan. Penelitian yang dikomandoi oleh Prof. Yanto Santosa mengambil contoh di Riau.

Riau di pilih karena banyak persepsi yang berkembang bahwa sawit di Riau merupakan penyebab deforestasi.  Alasannya karena saat izin usaha perkebunan keluar, lahan tersebut sudah bukan merupakan kawasan hutan.

Kontestasi tidak hanya berhenti di situ, kemudian Indonesia digegerkan oleh sebuah Video Penelusuran Harrison Ford bahwa Menteri Zulkifli Hasan menandatangani pelepasan kawasan hutan. Media digital banyak memberitakan bahwa Zulkifli Hasan merupakan pemecah rekor “Paling banyak member izin pelepasan kawasan hutan”. Dari dua fakta diatas kita bias menyimpukan sendiri penyebab deforestasi.

Jika kita hanya mengadalkan emosi sesaat, tentu saja pernyataan bahwa sawit bukan merupakan penyebab deforestasi membuat kita geram. Karena faktanya perkebunan sawit merupakan salah satu penyebab deforestasi dari hasil penelusuran Greenpeace dan WWF.

Namun kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kedaulatan tentu harus melihat fenomena ini sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kedaulatan atas pengelolaan sumberdaya alam. Jika sawit seperti manusia, tentu dia akan menetang jika disalahkan dan berkata “Ini bukan salahku, hanya saja pengelolaan yang belum baik yang menyebabkan deforestasi”.

Prof. Yanto Santosa ingin menahan serangan dari parlemen Eropa yang menyatakan bahwa sawit merupakan penyebab deforestasi.  Selain itu Parlemen Eropa juga menilai bahwa produksi global minyak sawit diklaim sering menyebabkan konflik dan mempekerjakan anak dibawah umur. Hal ini tentu membuat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi marah besar, Siti Nurbaya Selaku Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup menilai bahwa pernyataan tersebut merupakan tuduhan keji dan menyinggung kedaulatan bangsa Indonesia.

Greenpeace sering sekali menemukan kasus-kasus terkait deforestasi yang disebabkan oleh invasi sawit. Selain Greenpeace, WWF menegaskan bahwa sawit pendorong deforestasi termasuk kemugkinan kebun sawit skala kecil oleh masyarakat merupakan penyebab deforestasi. Tapi bukan itu berarti sawit yang menyebabkan deforestasi.

Dibalik Kontestasi Kalimat “Sawit Bukan Penyebab Deforestasi”

Seperti yang sudah  diungkapkan pada paragraf sebelumnya, akan salah jika kalimat “sawit penyebab deforestasi” atau “sawit bukan penyebab deforestasi”. Tentunya ada kontestasi ekonomi Eropa dan Asia dalam fenomena ini.

Indonesia sebagai Negara “Developing Country” sedang gencar-gencarnya membangun, apalagi saat ini kondisi hutang Indonesia yang tidak kecil akibat akumulasi hutang pasca kemerdekaan, hal ini menyebabkan Indonesia harus memaksimalkan potensi. Pernyataan parlemen Eropa merupakan salah satu penghambat kemajuan perekonomian nasional.

Bagaimana tidak Eropa melarang import CPO (Crude Palm Oil), padahal Eropa merupakan Negara ke 2 terbesar untuk tujuan export Indonesia. Dibalik isu lingkungan deforestasi ternyata bisa jadi ada motif ekonomi, hal ini beralasan karena harga CPO Sawit jauh lebih murah dari pada minyak bunga matahari dan minyak kedelai.

Selain itu minyak kelapa sawit merupakan jenis minyak nabati yang paling mempengaruhi perubahan harga minyak nabati lainnya dan minyak yang paling banyak diperdagangkan serta dikonsumsi di antara jenis minyak nabati lainnya. Prof. Yanto Santosa beberapa waktu yang lalu menegaskan “Jika di Eropa bisa di tanam sawit, mungkin mereka tidak akan melarangnya”.

Jadi sudah jelas kata “sawit penyebab deforestasi” atau “sawit bukan menyebab deforestasi” merupakan kata-kata politis yang bisa berdampak bagi perekonomian Indonesia, khususnya terkait CPO.

Sebagai anak bangsa Indonesia tentu kita harus mendukung kata “Sawit Bukan Penyebab Deforestasi” untuk mempengaruhi opini dunia bahkan parlemen Eropa dan mendarat pada keuntungan export CPO Indonesia. Tapi disisi lain kita harus tetap memberi masukan kepada pemerintah untuk perbaikan tata kelola sumberdaya alam dan meminimalisir dampak negarif baik secara ekologi dan sosial, khususnya terkait tata kelola Perkebunan Sawit. [end]

RRH/J-ed

*) Penulis Merupakan Ketua Umum Ecologica (Forum Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan) IPB 2017-2018, Kader HMI Cabang Bogor Komisariat Fakultas Kehutanan IPB.

  • Bagikan