Megaproyek Pelabuhan Patimban Ancam Kesejahteraan Petani, PSPS3 IPB Sarankan Ini

  • Bagikan
Warga Patimban yang tergabung ke dalam Paguyuban Petani Berkah ketika menggelar audiensi dengan PSP3 IPB di Bogor. Tampak Kepala PSP3, Soyan Sjaf (duduk), Ketua Gerbang Tani, Idam Arsyad, serta Ketua Paguyuban Petani Berkah, Arim Suhaerim (bertopi) [Foto: istimewa]

Mediatani – Besarnya dana investasi Megaproyek pelabuhan Patimban tidak serta merta mejanjikan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah proyek, Patimban, Subang, Jawa Barat. Dana investasi sebesar USD 3 miliar atau setara dengan Rp40 triliun tersebut tidak begitu memperhatikan nasib masyarakat sebelum hingga proyek selesai.

Ketua Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan indonesia (Gerbang Tani), Idham Arsyad mengharamkan setiap proyek pemerintah yang mengorbankan rakyatnya sendiri.

Bagi Idham, dalam konteks proyek Patimban, pemerintah harus punya keberpihakan kepada rakyat. Jangan sampai mereka semakin tersisih dan semakin miskin karena ganti rugi yang tidak layak.

“Pertimbangkan juga aspek keberlangsungan hidup warga ke depannya. Kepentingan umum tidak boleh membuat rakyat menjadi miskin,” tegasnya.

Kehadiran megaproyek pelabuhan patimban dinilai akan mengalihkan dan mengubah banyak hal termasuk kondisi sosial ekonomi masyarakat patimban. Pasalnya, sebagian besar masyarakat sekitar megaproyek sangat bergantung pada sektor agraris. Dimana lahan-lahan merekalah yang menjadi wilayah pengerjaan megaproyek tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Insitut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Sofyan Sjaf meminta pemerintah agar mengantisipasi aspek persoalan sosial-ekonomi masyarakat di setiap program pembangunan infrastrukturnya. Pemerintah seharusnya dapat sedini mungkin berdialog secara paritisipatif dengan warga Patimban, terutama mereka notabene terkena dampaknya secara langsung.

“Karena apa, mayoritas (warga) di sana bermata pencaharian sebagai petani. Ini yang harus diperhatikan,” ujar Sofyan dalam keterangannya, Selasa (7/11).

Sofyan menjelaskan, dialog secara partisipatif tersebut penting karena sawah dan tambak adalah satu-satunya tumpuan hidup warga Patimban.

Sofyan SJaf membeberkan hasil studi yang dilakukan oleh PSP3 IPB pada masyarakat terkena dampak megaproyek pelabuhan patimban menyimpulkan bahwa warga Patimban yang bertumpu pada sektor agraris akan sulit melakukan adaptasi terhadap mata pencaharian baru.

“Jika pun hendak meninggalkan kampung halaman untuk berprofesi sebagai petani, sulit dilakukan karena di lokasi tempat tinggal mereka saat ini adalah warisan dari generasi ke generasi,” beber pria bermurah senyum itu.

Hasil Studi PSP3 IPB Terhadap Masyarakat Patimban

Pertama pemerintah perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan ganti rugi lahan. Faktor-faktor tersebut adalah:

  • tipologi nafkah kehidupan warga patimban. warga patimban memiliki 3 tipologi nafkah hidup; nafkah hidup berbasis sawah, nafkah hidup berbasis tambak, dan nafkah hidup berbasis warung;
  • pengeluaran dan penerimaan yang diperoleh warga patimban;
  • nilai lahan; dan
  • nilai alih profesi nafkah kehidupan warga;

Kedua, pemerintah perlu mengetahui bahwa lahan adalah basis kehidupan ekonomi warga patimban. selain pemilik lahan, di patimban juga terdapat buruh tani yang saling bekerjasama dengan pemilik lahan. jadi jika ada pembangunan pelabuhan, maka dampaknya tidak hanya pemilik lahan tetapi juga buruh tani yang bekerja di lahan-lahan yang dimiliki warga.

Umumnya 3 kelas pemilikan lahan di patimban:

  1. warga yang memiliki lahan <34.197 m2;
  2. warga yang memiliki lahan antara 34.187 s.d. 69.752 m2; dan
  3. warga yang memiliki lahan di atas > 69.752 m2.

Dari kelas kepemilikan lahan tersebut, sebagian besar warga patimban memiliki lahan < 34.187 m2;

Ketiga, hasil penelitian PSP3 IPB menunjukkan bahwa penerimaan rumah tangga di patimban per meter persegi (jika lahan sebagai basisnya) adalah Rp. 11.000 dan penerimaan dalam setahun per meter persegi adalah Rp. 6.000. Dengan kata lain, setiap rumah tangga petani patimban perlu mencari tambahan kebutuhan hidup selain sebagai petani. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh bangunan, ojek dll untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Sofyan Sjaf menuturkan bahwa dari hasil studi tersebut, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan hal pokok terkait dengan nilai alih profesi warga. Ini penting karena pasca pembebasan lahan untuk kepentingan publik (pelabuhan), warga akan mencari kehidupan baru.

“Pemukiman mereka memiliki makna historis. Kemudian, sulit juga memperoleh sawah yang berdekatan dengan pemukiman mereka saat ini,” sambung dia.

Sofyan lantas menegaskan pentingnya azas parisipatif, keadilan untuk warga Patimban.

“Penting untuk menjadi pertimbangan dalam dialog nanti untung antara pemerintah dan warga, mengingat warga di sana sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah saat ini,” tutup dia.

  • Bagikan