Mentan SYL: Sebaiknya Hindari Lahan Gambut untuk Pertanian

  • Bagikan
Sumber foto: republika.co.id

Mediatani – Berdasarkan data Global Wetlands per tanggal 16 April 2019, Indonesia menjadi negara terbesar kedua yang memiliki lahan gambut dengan luas mencapai 22,5 juta hektare (Ha). Dengan rincian provinsi yang memiliki lahan gambut terbesar berturut – turut adalah Papua dengan luas 6,3 juta Ha, Kalimantan Tengah 2,7 juta Ha, Riau 2,2 juta Ha, Kalimantan Barat 1,8 juta Ha dan Sumatera Selatan 1,7 juta ha.

Sekadar informasi, Gambut merupakan lahan basah yang mengandung banyak material organik yang berasal dari bentukan akumulasi pembusukan bahan – bahan organik sejak ribuan tahun lamanya. Keberadaannya memiliki berbagai manfaat. Antara lain, gambut bisa menyimpan tiga puluh persen karbon dunia, mencegah kekeringan, dan mencegah pencampuran air asin di irigasi pertanian. Selain itu, lahan gambut juga sekaligus menjadi rumah bagi satwa yang langka.

Merespon hal tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menyampaikan bahwa lahan rawa yang tersebar dibeberapa titik di Indonesia mempunyai potensi untuk mengembangkan komoditas pada sektor pertanian. Meski demikian, orang yang pernah menjabat sebagai Gubernur di Sulawesi Selatan itu, tidak terlalu merekomendasikan pengembangan pertanian dilakukan di lahan gambut. Sedapat mungkin dihindari lahan gambut untuk pertanian.

“Indonesia memiliki lahan rawa yang luas, sebagian besar bisa berpotensi untuk lahan pertanian, namun kita tetap harus berhati-hati agar mencari komoditas yang cocok untuk ditanam di lahan rawa,” ujar Mentan Syahrul saat webinar HGI Series #2 “Praktik Pengelolaan Gambut secara Berkelanjutan untuk Pengembangan Ekonomi, Lingkungan, dan Masyarakat” di Jakarta, Kamis (11/2).

Dedi Nusyamsi selaku Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan bahwa lahan gambut sebetulnya telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah rawa.

“Kuncinya kita harus berhati – hati saat mengelola pertanian di lahan gambut. Tidak boleh terlalu banyak di-drainase, jangan juga over drain sebab akan merusak komposisi gas rumah kaca,” ujar Dedi pada acara yang sama. Dedi juga mempertegas bahwa lahan gambut yang dangkal sebetulnya menguntungkan pertanian. “Jarang yang memanfaatkan gambut yang dangkal,” katanya.

Menurut Dedi, bila lahan ini dimanfaatkan dengan baik akan menguntungkan pertanian. Bahkan produktivitas yang dihasilkan hampir sama dengan produktivitas sawah di daerah Jawa,” sambungnya.

Hal yang selaras juga disampaikan oleh Alue Dohong selaku Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Beliau mengatakan bahwa pengelolaan gambut tidak hanya cukup dilakukan secara berkelanjutan. Meskipun demikian, perlu dilakukan secara bertanggung jawab dan bijaksana. Menurut dia, selain sebagai aset lingkungan, lahan gambut juga harus dilihat dari aspek ekonomi sehingga diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa dan negara.

“Ketiganya harus seiring dan sejalan dalam mengelola, memanfaatkan dan melindungi ekosistem gambut,” katanya. Sehingga, diharapkan akan ada keseimbangan antara ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Kita tidak boleh hanya melihat dan memberikan peerhatian pada satu aspek saja,” jelas dia.

Alue juga menambahkan bahwa tantangan pengelolaan gambut tropis cukup dinamis. Tidak hanya terkait tentang tantangan dalam hal restorasi dan konservasi keanekaragaman hayati, tetapi juga bagaimana meningkatkan sejahteraan masyarakat, produktivitas lahan, kepastian hutan, tata kelola sumber daya air dan tantangan lainnya menuju pemanfaatan yang bijaksana dan berkelanjutan.

“Perlu kita ketahui bahwa lahan gambut ini memiliki ekosistem yang sangat unik, tetapi juga sangat rentan dan sensitif terhadap gangguan dan degradasi. Sehingga perlu kita mengelola dengan prinsip kehati – hatian dan menerapkan tiga prinsip di atas,” kata dia.

  • Bagikan