Mediatani – IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) baru-baru ini mengeluarkan laporan tentang perubahan iklim yang menunjukkan kondisi suhu permukaaan global 1,09oC lebih tinggi dalam sepuluh tahun antara 2011-2020 dibandingkan 1850-1900.
Terjadinya kenaikan suhu pada permukaan bumi mengakibatkan kenaikan air permukaan laut menjadi lebih tingggi 3 kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1901-1971.
Kondisi demikian salah satunya disebabkan oleh aktivitas manusia. Hal ini dibenarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, (2021) bahwa manusia merupakan penyebab sangat mungkin 90% melelehnya gletser secara global dan penurunan jumlah es di laut Arktik.
Indonesia telah mengirimkan dokumen Third National Communication pada tahun 2017 yang di dalamnya terdapat proyeksi perubahaan iklim dan nampak bahwa pada kenaikan suhu permukaan rata-rata di seluruh dunia pada tahun 2100 sedikit lebih tinggi daripada kenaikan suhu Indonesia.
Namun, Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia belum tentu aman dari perubahan iklim, karena dampak dari perubahan iklim itu bersifat global.
Adapun proyeksi dalam dokumen Third National Communication dijelaskan bahwa perubahan iklim dari beberapa parameter seperti suhu permukaan, rata-rata suhu permukaan laut, tinggi muka laut, salinitas, dan tinggi gelombang.
Dampak dari perubahan iklim di Indonesia menunjukkan adanya dampak pada sektor pangan terutama untuk komoditas padi dan jagung. Namun, terdapat kenaikan produksi pada tanaman tebu dan kedelai.
Sedangkan pada sektor air berupa kekeringan, penurunan kualitas air, penurunan muka air tanah gambut, dan penurunan populasi ikan, dsb.
Pada sektor kesehatan, terjadi peningkatan penyakit DBD dan malaria. Pada sektor perairan, terjadi kerusakan pada hutan mangrove, rusaknya terumbu karang dan berbagai macam kejadian lainnya.
Kerugian ekonomi akibat perubahan iklim menurut data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diperkirakan akan mencapai 115 Trilliun pada tahun 2024.
Inilah yang menjadi sebab pemerintah Indonesia mendorong pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan atau yang disebut ekonomi sirkular.
Ekonomi sirkular merupakan program pemerintah indonesia yang dianggap akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2 pada tahun 2030.
Namun, baru-baru ini seorang aktivis lingkungan Greta Thunberg yang berusia 18 tahun asal Swedia menyampaikan keresahannya terhadap pemimpin dunia pada pertemuan Youth4climate Conference di Italia.
“Jadi, para pemimpin dunia telah memilih anak-anak muda untuk pertemuan seperti ini agar mereka bisa berpura-pura mendengarkan kita, namun sebenarnya mereka tidak mendengarkan. Tidak ada planet B. Perubahan bukan hal yang mungkin terjadi, namun ini hal yang dibutuhkan” ungkapnya saat berpidato
Melihat semangat yang dilakukan Greta Thunberg, maka saat ini diperlukan sebuah konsilidasi bersama untuk menyatukan pendapat dan mengkaji lebih dalam persoalan bumi hari ini. Kemudian melakukan aksi yang nyata untuk merawat bumi agar kehidupan manusia tidak berakhir dengan cepat.