Oleh : Sulpiardi
(Wakil Ketua Umum Himagro Faperta Unhas 2013 – 2014)
Globalisasi dalam pembangunan bukanlah hal yang baru terjadi, hal tersebuttelah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu Suatu kebijakan pembangunan yang baik harus mengandung tiga unsur, yaitu: ecological security, livelihood security, dan food securitiy.
Suatu sistem sustainable agriculture adalah suatu sistem pertanian yang mendasarkan dirinya pada pemamfaatan sumber alam (tanah, air, dan keanekaragaman hayati pertanian) secara lestari. Keanekaragaman hayati merupakan kekuatan petani dalam upaya melestarikan ketahan pangan. keanekaragaman hayati dapat menjadi sumber alternatif dalam penganekaragaman jenis-jenis tanaman budidaya.
Pada era Globalisasi saat ini, praktek-praktek pertanian yang demikian akan berubah. Dengan munculnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh badan-badan internasional, misalnya WTO yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan praktek pertanian di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kebijakan tentang Trade Relate Intellectual Property Right dan berbagai keputusan lain akan merusak ketahanan ekologis suatu sistem pertanian, karena keputusan seperti itu akan mendorong terciptanya konsentrasi pemilikan terhadap sumber alam tersebut (tanah, air, dan keanekaragaman hayati).
Ancaman terbesar dari era globalisasi ini adalah pasar bebas yang tidak terkontrol, apalagi bagi sektor pertanian dan perkebunan. Bayangkan saja, untuk menggalakkan ekspor dari sektor pertanian, maka pemerintah negara-negara yang sedang berkembang akan membangun perkebunan-perkebunan besar, misalnya kelapa sawit, karet, atau tanaman lain yang akan diekspor. Kehadiran perkebunan besar juga aka mengubah ketiga aspek kebijakan pertanian yang sehat.
Perkebunan besar akan menguasai lahan pertanian yang sangat luas yang hanya ditanami dengan satu jenis tanaman, sehingga melemahkan ketahanan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Selain menutup kemungkinan bagi petani untuk mendiversifikasi usaha tani mereka, lemahnya ketahanan hayati juga bagi menyebabkan pertanian di wilayah itu mudah terserang hama. Keberadan perkebunan besar juga akan menghambat terpenuhinya kebutuhan dasar bagi penduduk setempat, demi ekspor dan keuntungan bagi pemilik perkebunan.
Yang menarik, berbeda dengan asumsi dalam globalisasi, liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian tidak menjadikan proses pembangunan pertanian menjadi lebih bebas. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan justru memperkuat sentralisme pembanguna pertanian. Tentang hal ini Vandana Shiva (1998) mengatakan:
“part of the reason that this new concentration is not being perceived, and that the process of trade liberalization is being misconceived as a new freedom for farmers, is because power is shifting from the nation state to Transnational Corporation TNCs).”
(Vandana Shiva, 1998, p. 11)
Di bawah pengololaan negara, pertanian tidak memberikan kebebasan kepada para petani, seperti halnya ketika pemerintah Indonesia “memaksa” memaksa petani untuk menanam padi, demi keberhasialn program swasembada pangan. Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, ketika negara tidak lagi mencampuri urusan pengembangan sektor pertanian, negara tidak mengembalikan kekuasaan dan fungsi petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi justru memfasilitasi penyerahan penguasaan sumber-sumber alam, sistem produksi, serta sistem pemasaran dan perdagangan kepada perusahaan agribisnis global. (Loekman Sutrisno, 2002)
Sebelum fenomena tersebut menjadi tontonan yang sangat menakutkan, maka sangatlah penting adanya fungsi kontrol terhadap berjalannya kebijakan pemerintah terhadap pembangunan pertanian. Di era globalisasi seperti saat ini, fungsi kontrol tersebut dapat dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat seperti mahasiswa dan akademisi, lembaga swadaya masyarakat serta barisan kelompok tani. Sehingga kedepannya kebijakan pertanian Indonesia tetap memperhatikan dampak terhadap kondisi sosial ekonomi rakyat Indonesia khususnya Petani.