Mediatani – Pemerintah mengeluarkan izin kepada investor asing dan swasta dalam negeri untuk melakukan pencarian harta karun maupun benda muatan kapal tenggelam (BMKT) yang berada di bawah laut Indonesia. Izin tersebut diatur dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal .
Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi mengungkapkan bahwa izin pengangkatan BMKT tersebut memang bukan kali ini saja dikeluarkan. Sebelumnya, izin itu juga sudah pernah diberlakukan pada tahun 2000 sampai akhirnya dimoratorium.
Kemudian, lanjutnya, semua biaya dalam proses pengangkatan BMKT ditanggung oleh pihak ketiga dalam hal ini pihak swasta yang telah diberikan izin. Hal tersebut dilakukan berdasarkan praktik yang pernah dilakukan pada zamannya.
“Apabila dari Perpres yang sejak pertama kali zaman Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid) tahun 2000 itu adalah semua biaya operasional, riset, eskavasinya itu harus ditanggung oleh pihak ketiga, oleh swasta,” ujar Wahyu dilansir dari MNC Portal Indonesia, Senin (8/3).
Dia juga menuturkan, bahwa nantinya, negara akan memperoleh bagian BMKT yang berhasil diangkut oleh pihak ketiga. Terutama untuk artefak-artefak yang diketahui merupakan sebuah masterpiece (karya besar) atau yang paling bernilai dari temuan tersebut.
Menurutnya, pihak swasta sendiri juga akan mendapatkan bagian BMKT atau harta karun yang berhasil mereka angkut dari bawah laut.
Namun, prosesnya pemilihannya dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan melibatkan para ahli dan pemangku kepentingan terkait untuk memastikan mana yang dapat diberikan ke pihak swasta dan mana yang harus jadi milik negara.
“Dan kemudian sisanya itu dibagi dengan proporsi yang tidak boleh merugikan negara,” pungkas dia.
Potensi ekonomi BMKT mencapai Rp137,2 triliun
Dilansir dari IDX Channel, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP mengakui, potensi ekonomi dari benda muatan kapal tenggelam tersebut memang cukup besar. Tercatat ada 463 titik benda muatan kapal tenggelam di Indonesia dengan potensi ekonomi mencapai USD9,6 miliar atau setara Rp137,2 triliun (kurs Rp14.300 per USD).
Meski demikian, saat ini baru 25% yang sudah disurvei dan hanya sekitar 3% yang sudah dieksploitasi dan diangkut. Berdasarkan hitungan dengan asumsi benchmark balai lelang Christie, diperkirakan nilai itu mencapai USD20 juta per titik.
Sementara itu, Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT Indonesia menilai bahwa setiap lokasi BMKT dapat memiliki nilai yang berkisar USD80 ribu hingga USD18 juta dilihat dari sisi ekonomi.
Jika BMKT tersebut dimanfaatkan untuk mendukung sektor pariwisata, potensi ekonomi yang dapat dihasilkan berkisar USD800 hingga USD126 ribu per bulan di satu lokasi harta karun.
KKP merincikan, sebaran 463 titik itu berada di 21 lokasi yang meliputi Selat Bangka (7 lokasi), Belitung (9 lokasi), Selat Gaspar, Sumatera Selatan (5 lokasi), Selat Karimata (3 lokasi), dan Perairan Riau (17 lokasi).
Selanjutnya, Selat Malaka (37 lokasi), Kepulauan Seribu (18 lokasi), perairan Jawa Tengah (9 lokasi), Karimun Jawa (14 lokasi), dan Selat Madura (5 lokasi).
Potensi harta karun juga diperkirakan berada di NTB dan NTT (8 lokasi), Pelabuhan Ratu (134 lokasi), Selat Makassar (8 lokasi), perairan Cilacap (51 lokasi), perairan Arafuru (57 lokasi), dan perairan Ambon (13 lokasi). Sisanya, berada di perairan Halmahera (16 lokasi), perairan Morotai (7 lokasi), Teluk Tomini, Sulawesi Utara (3 lokasi), Papua (32 lokasi), dan Kepulauan Enggano (11 lokasi).
Kritik terhadap kebijakan
kebijakan yang mengizinkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melelang temuan harta karun atau Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) yang masuk kategori cagar budaya itu menuai kritik dari berbagai pihak.
Salah satu kritik tersebut datang dari Sejarawan Andi Achdian. Ia mengatakan bahwa izin pencarian harta karun ini merupakan dampak dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengizinkan 14 bidang usaha oleh pemerintah.
Menurutnya, Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebenarnya mengatur tentang penemuan kebendaan cagar budaya yang ada di darat maupun di perairan. Namun, KKP memiliki wewenang atau kuasa yuridiksi terhadap sebagian wilayah perairan di Indonesia.
“Nah, ini yang bermasalah kadang-kadang, siapa yang berwenang mengelola itu,” kata Andi.
Andi menyayangkan karena KKP melelang benda tersebut, padahal telah memiliki museum untuk merawat dan memajang benda berharga yang ditemukan.
Meskipun Andi mengaku tidak mengetahui pengelolaan uang hasil lelang tersebut. Namun menurutnya, persoalan pengelolaan benda temuan masih menjadi perbincangan antara pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta KKP.
Andi mempersoalkan izin investor asing dan swasta dalam negeri untuk mencari harta karun atau BMKT di lautan Indonesia yang dikeluarkan melalui peraturan presiden. Sebab, benda yang memiliki nilai sejarah dilihat sebagai barang berharga atau komoditas, bukan cagar budaya.
“Mindset-nya aja secara konseptual keliru. Ini bukan barang berharga yang bisa kita perjualkan. Ini adalah warisan budaya, yang harus kita lindungi,” tegas Andi.