Mediatani – Pemerintah melalui Kementerian keuangan menaikkan batas atas pungutan ekspor (PE/levy) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya hingga harga CPO di atas US$1.500 per ton. Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 23/PMK.05/2022 yang diteken pada Kamis (17/3/2022).
Menanggapi hal tersebut, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyatakan menolak kenaikan pungatan dana sawit. Menurut Sekjen SPKS, Mansuetus Darto, keputusan tersebut adalah kekeliruan yang berulang dan tidak tepat untuk mengatasai masalah kelangkaan minyak goreng.
“sudah banyak petani yang bersuara akibat harga tandan buah sawit (TBS) tergerus akibat pungutan dana Sawit. Masalah kelangkaan minyak goreng pun, petani sawit jadi korban,” terang Mansuetus dalam keterangan tertulis, Senin (21/3/2022).
Mansuetus menjelaskan, permasalahan kelangkaan minyak goreng dapat diatasi dengan menurunkan alokasi CPO untuk biodiesel pada program B30, dikurangi menjadi B20. Penurunan tersebut, menurut Mansuetus merupakan langkah untuk mengatasi masalah ketersediaan bahan baku yang langka karean habis tersedot program biodiesel.
Selanjutnya, pemerintah seharusnya dapat memberi kemudahan bagi petani pada program peremajaan sawit. Menurutnya, program peremajaan adalah langkah yang penting untuk meningkatkan dan menjaga produktivitas petani menjadi lebih baik.
Mansuetus mengungkapkan, selama ini program peremajaan sawit yang berjalan terlalu birokratis dan menyulitkan petani sawit dalam mengakses dana program peremajaan sawit.
“Kami melihat, ada strategi dibelakang layar oleh pelaku usaha besar untuk membuka lahan baru secara luas, untuk mengatasi masalah minyak goreng,” ungkapnya.
Mansuetus menilai, alasan pungutan dana sawit justru akan merugikan petani. Sebab, jika pungutan CPO tinggi, maka harga CPO yang menjadi acuan penentuan harga tandan buah segar (TBS) dari petani akan rendah akibatnya harga TBS juga ikut turun.
“Dengan kenaikan pungutan dana sawit terbaru melalui PMK 23/PMK.05/2022 ini kami perkirakan pengurangan harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sekitar Rp. 600-700/kg TBS,” tukasnya.
Oleh karena itu, Mansuetus meminta agar pemerintah membatalkan kenaikan pungutan dana sawit terbaru ini. Semestinya, Mansuetus menambahkan, pemerintah seharusnya menurunkan target program biodiesel yang saat ini B30 menjadi B20 jika saat ini kebutuhan dana untuk subsidi biodiesel B30 sangat besar.
“Jika diturunkan menjadi B20, maka dana sawit akan surplus. Selain bahan baku akan tersedia karena diturunkan menjadi B20, dana sawit yang surplus tadi bisa digunakan untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng.” Tutur Mansuetus.
Hal senada juga dituturkan Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri sebagaimana dilansir CNN (21/3/2022), yang mengatakan bahwa biang kerok permasalahan minyak sawit ini adalah kebijakan dua harga.
Harga internasional jadi acuan untuk biodiesel, sedangkan untuk minyak goreng pakai harga domestik. Akibatnya CPO disedot untuk biodiesel.
Faisal Basri menjelaskan, peningkatan pajak ekspor semata-mata tidak akan mempan, malahan bikin tambah senang memasok ke Biodiesel.
“Akibatnya ya memang petani lagi yang ditekan” ungkapnya.
Sekedar informasi tambahan, dana yang tersisa di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu pungutan dari 2015-2021 sekitar Rp138 triliun masih ada sisa sekitar Rp22 triliun. Hal tersebut berarti bahwa anggaran untuk kepentingan program yang berhubungan dengan petani sawit seperti program PSR masih tersedia.