Mediatani – Salah satu dokumen yang dapat menentukan harga jual ikan, terutama ikan tuna adalah Sertifikat Marine Stewardship (MSC). Pasalnya, sertifikat ini merupakan standar internasional untuk memastikan kualitas produk perikanan. Untuk itu, pelaku usaha di sektor perikanan dituntut untuk memiliki sertifikat tersebut.
Hal ini juga selaras dengan arahan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang meminta agar nelayan dan pelaku usaha perikanan di Indonesia mendukung penuh program pengelolaan perikanan berkelanjutan, termasuk komoditas tuna dan cakalang.
Dengan adanya Sertifikat Marine Stewardship Council (MSC), kualitas dan ketertelusuran produk perikanan dipastikan telah mencapai standar global.
“Sertifikat MSC ini harus dipertahankan terus,” harap Menteri Trenggono saat bertemu pengurus Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) di Kantor KKP, Jakarta Pusat (25/2).
Sertifikat MSC diterbitkan oleh lembaga swadaya yang berbasis di Inggris dengan masa berlaku lima tahun. Namun setiap tahunnya, penyelenggara melakukan audit untuk memastikan pengelolaan perikanan yang dilakukan masih memenuhi standar global dan berkelanjutan.
Menteri Trenggono mengapresiasi AP2HI yang telah berhasil memperoleh sertifikat MSC. Dia mengetahui, untuk mendapatkan sertifikat global tersebut memerlukan proses yang panjang.
Menurutnya, dengan diperolehnya sertifikat MSC tersebut menjadi penanda bahwa Indonesia mendukung penuh pengelolaan perikanan berkelanjutan, sehingga populasi tuna dan cakalang bisa terjaga. Apalagi menjaga keberlanjutan ekosistem lautan merupakan salah satu fokusnya dalam memimpin sektor kelautan dan perikanan.
Sementara itu, dengan adanya sertifikat MSC tersebut, Ketua AP2HI Janti Djuari mengharapkan agar harga tuna dan cakalang bisa mengalami peningkatan hingga 20 persen. Sehingga, kesejahteraan nelayan juga ikut mengalami peningkatan.
Janti menuturkan, pihaknya memperoleh sertifikat MSC berkat penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Ia mengatakan, nelayan AP2HI selama ini menggunakan huhate dan pancing ulur dalam menangkap tuna maupun cakalangan.
“Huhate dan pancing ulur adalah alat tangkap yang selektif (one-by-one tuna) dan ramah lingkungan,” ujar Janti.
Proses sertifikasi melibatkan sekitar 380 kapal penangkap ikan yang tersebar di berbagai daerah kepulauan Indonesia. Mulai dari Sulawesi Utara, Maluku Utara hingga ke Laut Banda, serta Flores Timur dan Barat.
Sebelumnya, pada Mei 2020, North Buru and Maluku Fair Trade Fishing Associations, Indonesian Handline Yellowfin Tuna juga telah disertifikasi dengan Standar MSC, menyusul PT Citra Raja Ampat Canning (CRAC) yang meraih sertifikasi pada November 2018 lalu.
Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zaini menjelaskan proses sertifikasi MSC tersebut melibatkan 380 kapal penangkap ikan yang tersebar di kepulauan Indonesia, mulai dari Sulawesi Utara dan Maluku Utara hingga ke Laut Banda, dan Flores Timur dan Barat.
“Sertifikasi ini menunjukkan komitmen kita terhadap penangkapan tuna yang berkelanjutan di Indonesia pada dunia,” ujarnya seperti dikutip dalam keterangan pers KKP, Senin (1/2)
Sebagai salah satu negara penghasil tuna terbesar dunia, sangat penting bagi Indonesia untuk mendukung proses perolehan sertifikasi ini melalui program perbaikan perikanan agar segala sektor perikanan bisa tumbuh secara berkelanjutan sekaligus memberikan jaminan mata pencaharian di masa depan.
Sertifikasi tersebut memastikan agar penangkapan ikan tetap berada pada tingkat praktik terbaik global dengan pengelolaan stok yang baik. Untuk mempertahankan sertifikatnya, para stakeholder terkait juga harus tetap berkomitmen untuk tetap menjaganya selama waktu lima, terkait dengan stok dan manajemen.
“Tentu saja Dukungan seluruh stakeholder terkait terhadap perikanan tuna skala kecil menjadi hal yang sangdt penting dalam mendorong percepatan proses menuju keberlajuntan. Indonesia bangga saat ini memiliki perikanan ketiga yang memenuhi standar keberlanjutan perikanan tertinggi”, imbuh Zaini beberapa waktu lalu.