Opini Oleh: Irlan, S.Hut., M.Si.
Dosen Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Sulawesi Barat
Sejak ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sebagai hari lingkungan hidup sedunia, 5 Juni telah menjadi hari yang disesaki dengan ritual, pesan hingga ajakan dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kontribusi setiap umat manusia terhadap kondisi lingkungan yang dinilai semakin memburuk. Seluruh dunia, baik itu lembaga dunia, lembaga pemerintah, Non-Governmental Organization (NGO) hingga masyarakat umum, turut serta dalam euphoria hari lingkungan hidup. Ini dapat kita lihat pada lini masa media sosial yang dipenuhi oleh kampanye hari lingkungan hidup.
Hari lingkungan hidup 2023 saat ini telah menjadi penanda setengah abad perjalanannya. Dimana setiap tahunnya diperingati dengan mengusung tema yang berbeda sesuai dengan isu global yang sedang berkembang. Namun dari semua tema tersebut pada dasarnya didalamnya terdapat pertanyaan besar, Sejauhmana bumi ini mampu menopang keberlangsungan hidup semua mahluk yang ada di dalamnya?
Sebuah pesan menarik disampaikan oleh The United Nations Development Programme (UNDP), suatu badan PBB yang bertugas membantu setiap negara dalam menghilangkan kemiskinan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kampanye yang disampaikan melalui salah satu platform media sosialnya tersebut menampilkan seekor dinosaurus yang sedang memberikan pidato. Pada intinya, pesan sang dinosaurus tersebut adalah ajakan untuk membangun kembali sistem ekonomi yang masih dinilai tidak berpihak pada lingkungan dan kesejahteraan umat manusia ditengah situasi bahaya perubahan iklim yang sedang terjadi.
Paling tidak, kehadiran dinosaurus sebagai speaker dalam sidang tersebut memunculkan pertanyaan menarik bagi saya. Mengapa yang dimunculkan adalah hewan yang telah punah? Apakah perubahan iklim, tema yang selalu menjadi pusat perhatian publik dunia, akan mengantarkan seluruh mahluk termasuk umat manusia, pada kepunahan?
Ancaman Kepunahan
Seperti disampaikan sebelumnya di atas bahwa isu lingkungan yang menyita perhatian publik global saat ini yaitu isu perubahan iklim. Perubahan iklim telah mendapatkan tempat (terterima) dalam pembicaraan global jika dibandingkan ketika isu ini pertama kali muncul. Pada awal kemunculannya, pro -kontra terhadap isu ini tidak bisa dihindarkan dan itu berlangsung hingga saat ini. Bagi Sebagian orang, perubahan iklim mungkin hanya sekedar isu yang belum terjadi.
Lalu, mengapa perubahan iklim harus dipandang serius? Secara sederhana, kita dapat menggambarkan perubahan iklim sebagai peristiwa yang diawali dengan fenomena peningkatan suhu. Buktinya telah banyak kita temukan dalam laporan ataupun publikasi PBB yang menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan suhu bumi 1,1 derajat celius sejak dekade 1800-an hingga tahun 2020. Dan telah disepakati bersama oleh ribuan ilmuwan bahwa kenaikan suhu tersebut tidak boleh lebih dari 1,5 derajat Celcius. Hal ini dilakukan agar kita dapat terhindar dari dampak iklim terburuk.
Beberapa dampak buruk atau konsekuensi yang dapat terjadi dari perubahan iklim seperti kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut, banjir, pencairan es kutub, badai dahsyat dan penurunan keanekaragaman hayati. Konsekuensi terakhir dari yang disebutkan sebelumnya sangat berkaitan dengan isu kepunahan. Benarkah perubahan iklim dapat menyebabkan kepunahan sebagaimana pesan dinosaurus dalam kampanye UNDP?
Sebuah artikel yang ditulis Cahill dan kawan-kawan (2013) berjudul How does climate change cause extinction? dapat membantu kita menjawab pertanyaan tersebut. Mereka mencoba melakukan review terhadap kasus kepunahan spesies lokal pada berbagai wilayah. Dalam tulisannya tersebut mereka menyebutkan bahwa perubahan iklim menjadi ancaman utama dalam kepunahan spesies hingga 100 tahun kedepan. Pertanyaan yang mereka ajukan adalah apa yang menjadi factor utama penyebab kepunahan tersebut. Yang mencengangkan dari temuan mereka adalah penyebab utama kepunahan bukan pada tingkat toleransi terhadap kenaikan suhu akan tetapi pada interaksi dengan spesies lain. Interaksi yang dimaksud tersebut adalah penurunan persediaan makanan.
Kelangkaan sumberdaya
Kepunahan yang dijelaskan di atas masih terbatas pada kepunahan lokal spesies fauna. Yang pada dasarnya penyebab kepunahannya bukan dipengaruhi oleh kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya. Melainkan kemampuannya untuk bertahan hidup dari pemangsa atau yang dapat merebut makanannya.
Lantas bagaimana dengan isu kepunahan manusia. Sejauh ini belum ada yang dapat memberikan penjelasan bagaimana prediksi dampak perubahan iklim terhadap kepunahan manusia. Namun yang dapat kita pelajari dari kisah kepunahan spesies lokal di atas adalah terkait kelangkaan sumberdaya. Perubahan iklim dapat mengakibatkan kelangkaan sumberdaya baik itu air, makanan hingga tempat tinggal yang berujung pada kepunahan.
Bahkan mungkin kita pernah mendengar ungkapan bahwa perang dunia ketiga mungkin saja terjadi disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya baik itu air maupun makanan bukan perebutan gas atau minyak. Sehingga cerita awal kepunahan manusia bisa jadi dikarenakan oleh perang nuklir bukan pada kemampuan adaptasi manusia menghadapi panasnya suhu dan cuaca di siang hari.
Semoga hari lingkungan hidup ini menjadi momen refleksi bagi siapa saja yang tidak ingin memilih punah. Seperti pesan hastag UNDP dalam kampanyenya, “Don’t choose extinction”.