Mediatani – Anak Buah Kapal (ABK) merupakan salah satu jenis pekerjaan yang digeluti Pekerja Imigran Indonesia (PMI) di sejumlah negara. Namun, mereka yang bekerja di kapal berbendera asing itu ternyata masih rentan menjadi korban eksploitasi.
Hal tersebut terungkap dalam seminar ‘Melindungi ABK Indonesia di Kapal Asing’ yang diselenggarakan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative, di Jakarta, Rabu (14/4/2021).
Dalam kesempatan itu, Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan akan meningkatkan perlindungan bagi para Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal berbendara asing dengan terus membenahi tata kelola penempatan dan pelindungan ABK.
“Pemerintah telah dan terus berupaya untuk melakukan langkah-langkah pembenahan pelindungan bagi awak kapal perikanan yang memang secara karakteristik lebih rentan terhadap tindak eksploitasi,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, saat menjadi Keynote Speech di seminar tersebut.
Menurutnya, upaya untuk memperbaiki tata kelola ini akan lebih mudah direalisasikan jika terdapat instrumen hukum yang mengaturnya. Untuk itu, pemerintah saat ini terus menyelesaikan Peraturan Pemerintah (PP) untuk penempatan dan pelindungan awak kapal niaga maupun perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing.
Peraturan Pemerintah tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Adapun rancangan PP ini telah selesai melalui proses harmonisasi dan telah diajukan ke Sekretariat Negara.
Menaker Ida menuturkan bahwa RPP ini membawa harapan agar ABK mendapat perlindungan yang lebih lengkap/paripurna mulai dari sebelum, selama, dan setelah mereka bekerja.
Selain itu, diharapkan tidak muncul lagi permasalahan terkait dualisme perizinan, lemahnya pendataan dan koordinasi antar Kementerian atau lembaga terkait, rendahnya kompetensi awak kapal perikanan kita, serta lemahnya pengawasan.
Lebih lanjut Menaker Ida menjelaskan bahwa substansi dari pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelindungan Awak Kapal ini, yang mana rujukan pengaturannya diambil, baik dari instrumen internasional maupun aturan nasional.
“Baik instrumen internasional, yaitu Konvensi ILO mengenai maritim (Maritime Labour Convention) dan Konvensi ILO Nomor 188 mengenai Pekerja di Sektor Perikanan, serta aturan perundang-undangan nasional terkait lainnya, seperti di bidang pelayaran, kepelautan, serta perikanan,” jelasnya.
Pihaknya juga masih tetap melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan penempatan pekerja migran, termasuk yang menempatkan awak kapal perikanan. Hal itu dilakukan untuk memastikan operasion perusahaan ini tidak melanggar aturan.
Sementara itu, kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menjelaskan bahwa hal yang menjadi pokok permasalahan dari sulitnya penanganan ABK perikanan di Indonesia, yakni bermuara dari ketidakjelasan tata kelola penempatan ABK.
Pasalnya, masih terdapat aturan yang tumpang tindih terkait dalam pemberian izin penempatan bagi awak kapal yang ingin bekerja di kapal berbendara asing.
Oleh karena itu, lanjutnya, dia berharap dari UU No.18 Tahun 2017 dan peraturan turunan dari UU ini, dapat memberikan jawaban yang pasti, baik bagi tata kelola maupun pelindungan bagi awak ABK perikanan Indonesia.
“Kuncinya adalah jika sistem sudah kita buat dan diperkuat, maka kolaborasi dan koordinasi menjadi penting dalam menangani masalah awak kapal perikanan Indonesia,” tuturnya.
Di akhir kesempatan, Menaker Ida menyatakan apresiasinya kepada Indonesia Ocean Justive Initiative (IOJI) yang concern terhadap isu pelindungan awak kapal migran Indonesia. Policy Brief yang dibuatnya mengenai Perbaikan Tata kelola Pelindungan ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing merupakan salah satu bentuk kontribusinya.
“Rekomendasi kebijakan yang diajukan telah kami jadikan referensi yang berharga bagi Pemerintah, selaku regulator, dalam menetapkan kebijakan pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang bekerja sebagai Awak Kapal Perikanan di Kapal Berbendera Asing,” ujarnya.