Mediatani – Beternak ayam, itik atau sejenis ungags lainnya, mungkin merupakan hal yang lazim, namun I Wayan Sudarma, 53, memilih untuk beternak tikus putih dengan nama latin Rattus norvegicus.
Disadur Sabtu (6/2/2021) dari situs berita Bali Express Jawa Pos Group , Sudarma menuturkan bahwa dia memulai ternak tikus sejak dirinya pensiun dari salah club malam di Legian, Kuta Bali.
Ketika itu seorang temannya menyarankan agar dirinya memulai beternak tikus putih. Dengan alasan masih jarang ada peternak tikus di Bali.
“Awalnya saya mau buka warung sembako, tapi salah satu teman menyarankan berternak tikus, katanya bisa dijual ke pecinta reptil dan dipakai penelitian atau praktikum. Di Jawa sudah banyak (peternak tikus, Red) di Bali masih jarang,” ujar Wayan saat ditemui Jumat (5/2/2021) dikutip Sabtu (6/2/2021).
Atas saran itu dia kemudian membeli indukan tikus putih sebanyak 20 ekor di pasar burung.
Dengan memulai modal awal Rp 5 Juta, dirinya pun mulai berternak tikus putih.
“Setelah berkembang, saya mulai pasarkan door to door awalnya, lalu ke pasar hewan, kemudian mulai dipasarkan online lewat jejaring sosial media sampai sekarang,” papar pria yang beralamat di Jalan Batuyang, Gang Pipit/Lingkungan Pipit Permai 3C, Nomor 32, Banjar Tegeha, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar itu.
Di samping itu dirinya pula memasarkan kepada komunitas pencinta reptil, yang mana tikus putih tersebut dijadikan pakan bagi reptil seperti ular dan sejenisnya.
Tak sampai di situ saja, tikus putih juga banyak dicari untuk keperluan penelitian atau praktikum di universitas.
“Juga dijadikan pakan burung hantu, dan banyak dicari untuk praktek mahasiswa di kampus-kampus,” sebut dia.
Ia menambahkan, jika dirinya berternak jenis tikus besar yang biasa disebut Rat dan tikus kecil yang biasa disebut Mencit.
Saat ini pun peternakan tikus miliknya terdapat berkisar 1.000 ekor tikus putih baik indukan dan anak.
Meskipun jumlah itu jauh menurun jika dibandingkan saat sebelum pandemi.
“Sebelum pandemi sampai 2.500 ekor, sekarang hanya 1.000 ekor,” sambungnya saat ditemui di kandang tikus miliknya seluas 1 are tersebut.
Disinggung perihal harga, lanjut dia, harganya bervariasi tergantung bobot.
Tikus putih dengan berat 150 gram dapat dibandrol dengan harga Rp 50.000 per ekornya. Sedangkan tikus putih ukuran small dibandrol Rp 12.000 per ekornya, dan tikus baru lahir seharga Rp 5.000.
“Tikus yang hamil pun ada juga yang mencari, harganya Rp 5.000 sampai Rp 100.000, biasanya digunakan untuk praktek bedah sesar,” ucapnya.
Dalam beternak tikus putih itu, Sutama memberikan pakan berupa pakan babi, sayur kangkung, pepaya hingga nasi.
Dia mengingatkan agar air minum tikus tidak boleh habis. Sehingga tikus yang ia ternak 100 persen organik.
Sementara untuk perawatan, ia mengaku gampang tapi kadang juga susah. Hal itu dikarenakan ia ingin membuat tikus yang ia ternak selalu bersih dan sehat.
“Di sini kita rutin ganti sekam 3 sampai 4 hari sekali, karena kalau sampai ada kutu akan susah membersihkannya,” tutur dia.
Dan untuk perkembangbiakannya, dari kawin sampai melahirkan total usia 4 bulan baik jenis red dan mencit.
Biasanya jumlah anak yang dilahirkan tergantung dari cuaca. Apabila cuaca dalam keadaan panas, tikus induk bisa melahirkan 5 sampai 6 ekor anak, sedangkan jika musim hujan bisa melahirkan hingga 10 ekor anak.
“Rata-rata bisa hidup semua, tapi bisa saja mati kalau induknya stres karena mereka binatang kanibal,” tukasnya.
Dia menyebut, dalam perawatannya harus ekstra hati-hati untuk melindungi tikus dari predatornya yakni ular dan kucing.
Bahkan beberapa kali ular dan kucing pernah masuk ke kandang tikusnya miliknya.
Pernah suatu kali ular jenis piton masuk ke kandang tikus miliknya dan memakan beberapa ekor tikus namun ular itu terjebak karena tak bisa keluar kandang lantaran badannya telah membesar usai memangsa tikus.
Sebelum pandemi Covid-19, omzet yang diraup mencapai Rp 2,5 Juta hingga Rp 3,5 Juta per bulannya. Di mana setiap bulan rata-rata ada 40 hingga 50 ekor tikus yang terjual setiap harinya.
Sayangnya pandemi Covid-19 membuat permintaan akan tikus putih tersebut menurun.
Penelitian mahasiswa yang biasa menggunakan tikus putih pun tidak bisa dilakukan karena pembelajaran dilakukan secara daring.
Begitu pula dengan kebun binatang yang masih tutup sehingga pihaknya belum bisa menyuplai tikus.
“Daya beli masyarakat melemah sehingga permintaan tikus putih menurun drastis hampir 80 persen, dapat Rp 20.000 saja sudah syukur,” imbuh Sutama.
Sebab kata dia para penghobi reptil seperti ular, biawak, hingga burung hantu juga tidak setiap hari memberikan peliharaannya tikus.
“Kalau ular diberi makan tikus seminggu dua kali, maklum ular juga tidak makan setiap hari, dan yang punya burung hantu diselingi ayam atau telur puyuh,” jelas dia.
Sementara itu, untuk kebun binatang, saat ini beralih ke kepala ayam yang harganya lebih terjangkau yakni Rp 10.000 per kilogram.
“Kalau kampus-kampus sekarang belum bisa tatap muka, biasanya minta jenis red jantan karena staminanya lebih kuat. Kalau fakultas kedokteran hewan itu biasanya minta betina yang hamil, dan farmasi cari yang jantan untuk tes obat, tapi yang mencit juga diminati,” tandasnya.
Dirinya pun berharap pandemi Covid-19 segera berakhir sehingga penjualan tikus putih bisa kembali normal. (*)