Terkait Darurat Iklim, Aktivis Lingkungan Kirim Petisi dan Desak Presiden Jokowi

  • Bagikan

Mediatani – Para aktivis iklim Indonesia mengeluarkan petisi sebagai bentuk desakan agar Presiden Joko Widodo segera mendeklarasikan “Darurat Iklim”.

Dilansir dari Kompas – Sebanyak lebih dari 150 individu aktivis iklim dan organisasi terus melakukan perlawanan melalui aksi Global Climate Strike dengan menginisiasi petisi lewat platform change.org dengan link http://change.org/stopbencana.

Desakan ini ternyata serupa dengan seruan Sekjen PBB Antonio Guterres kepada seluruh pemimpin dunia pada peringatan 5 tahun Perjanjian Paris, Desember 2020 lalu.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Yuyun Harmono mengatakan bahwa krisis iklim memberikan dampak nyata pada komunitas dan ekosistem di seluruh dunia.

Para pegiat lingkungan mengingatkan bahwa tindakan nyata sangat dibutuhkan, bukan sekedar wacana target komitmen iklim yang tidak masuk akal.

Kemudian muncul pertanyaan, “Apakah komitmen Indonesia selaras dengan Perjanjian Paris?”

Yuyun mengatakan, pertanyaan tersebut muncul karena pada kenyataannya antara komitmen iklim dan kebijakan-kebijakan yang lahir belakangan sangat bertolak belakang.

Hal ini dikatakannya dalam Konferensi Pers Peluncuran Petisi Deklarasi Darurat Iklim, Rabu (17/3/2021).

Argumen ini bukannya tanpa alasan, sebab pemerintah terus berkampanye agar individu melakukan perubahan untuk lingkungan, namun kebijakan pemerintah justru mempermudah perusakan lingkungan itu sendiri dengan alasan pembangunan ekonomi.

Sejalan dengan Yuyun, Koordinator Nasional XR Indonesia, Melissa Kowara mengatakan bahwa desakan ini dilakukan karena saat ini dampak krisis iklim sudah dirasakan dengan jelas.

“Kami rakyat Indonesia bukan sedang menunggu, tapi sudah terjadi sekarang. Saya dan para inisiator lainnya sudah menunggu terlalu lama untuk sebuah tindakan nyata dan tegas dari pemerintahan Presiden Jokowi,” Ungkap Melissa.

Menurutnya, deklarasi ini merupakan tindakan yang harus segera dilakukan untuk mencegah kehilangan yang lebih banyak lagi. Terlebih, saat ini rakyat Indonesia membutuhkan aksi nyata yang menjunjung tinggi keadilan dan dapat membawa kita keluar dari krisis iklim.

Disampaikan bahwa urgensi desakan petisi ini merupakan bagian dalam menghadapi bencana terkait iklim yang telah menghancurkan wilayah di berbagai behalan dunia tahun ini, termasuk negara Indonesia sendiri.

Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM FMIPA Universitas Indonesia, Dwi Tamara mengatakan bahwa krisis iklim menimbulkan dampak katastropik yang mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi dan tidak sedikit yang terdampak, bahkan menjadi korban jiwa.

“Hal ini menunjukkan bahwa kita berada dalam kondisi yang sangat genting. Sayangnya, pemerintah belum juga menanggulangi permasalahan ini dengan serius,” Jelasnya.

Selain itu, menurutnya kebijakan-kebijakan yang ada bertolak belakang dengan upaya mengatasi krisis iklim, dan justru semakinmemperparah.

Yuyun menghimbau agar masyarakat harus tahu bahwa yang tertulis pada Undang-Undang Cipta Kerja saat ini mendorong kemudahan industri ekstraktif.

“Padahal, jika ada kemauan politik yang keras dan tegas, sudah seharusnya Presiden Joko Widodo menekan tombol darurat iklim segera untuk keselamatan rakyat Indonesia,” tegas Yuyun.

Contoh kasus krisis iklim yang telah terjadi seperti di tahun 2020 yang merupakan tahun terpanas bumi dan telah membawa dampak besar pada Indonesia.

Kemudian peringatan cuaca ekstrem berlanjut pada dominasi bencana hidrometeorologi.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak Januari hingga Maret 2021 tercatat 657 bencana terjadi di Indonesia dan didominasi oleh bencana banjir sebanyak 304 kejadian, puting beliung serta tanah longsor sebanyak 141 dan 130 kali, dan sebanyak 3.421.871 orang harus mengungsi.

Kemudian pada awal tahun 2021 terjadi banjir bandang yang merendam Kalimantan Selatan dan merenggut 21 jiwa. Banjir pun juga terjadi di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Jawa, hingga Sumatera.

Belum lagi ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dapat mengakibatkan polusi asap juga masih terus berlangsung, dengan teridentifikasinya titik-titik api yang muncul di Sumatera dan Kalimantan.

  • Bagikan