Mediatani – Spesies udang purba (Stenasellus sp) yang selama ini ditemukan di Indonesia, kebanyakan ditemukan pada karst yang memiliki gua dengan air yang tawar. Padahal, spesies udang purba ini adalah biota laut.
Fakta tersebut diungkapkan oleh Peneliti Zoologi LIPI, Cahyo Rahmadi dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia dengan tajuk Penemuan Udang Purba Melalui Susur Gua, pada Jum’at (05/2). Menurutnya, Stenasellus sp yang ditemukan di Indonesia selama ini mempunyai habitat di karst yang memiliki gua.
“Tetapi, khusus di Indonesia belum pernah ditemukan di luar gua, spesies ini hanya ada di air perkolasi yang benar-benar tawar. Hal ini sangat menarik, karena aslinya, Stenasellus sp merupakan biota laut,” terang Cahyo dilansir dari Mongabay.
Pasalnya, kawasan karst terbentuk dari terumbu karang yang terangkat ke permukaan dan telah melalui proses geologi selama jutaan tahun. Sehingga, menurutnya, kemungkinan besar Stenasellus sp itu telah berusia kurang lebih sama dengan usia batuan di karst tersebut.
“Wajar saja, jenis ini dikatakan sebagai spesies purba,” lanjutnya.
Cahyo sendiri adalah orang yang pertama menemukan spesies udang purba di Karst Klapanunggal Bogor (Gua Cikarae), Jawa Barat. Spesies purba yang dia temukan bersama tim susur gua Lawalata IPB pada 2004 itu kemudian dinamakan Stenasellus javanicus,
Setelah itu, spesies serupa kembali ditemukan pada kawasan Karst Ciampea [Bogor], Karst Bojanglopang [Sukabumi], tepatnya di Gua Buni Ayu, Gua Ta’l, Gunung Walat serta Gunung Cibodas, dan di Tasikmalaya, tepatnya di Gua Sarongge Jompong.
Namun, udang purba yang ditemukan di Karst Klapanunggal, terdapat pada ketinggian 200-300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara, lokasi penemuan spesies yang paling tinggi ada di Karst Bojanglopang, pada 700 mdpl.
Menurutnya, perbedaan ketinggian ini menunjukkan bahwa setiap lokasi penemuan mempunyai usia, formasi batuan dan sejarah geologi yang berbeda pula. Fakta tersebut juga mengartikan Stenasellus sp, kemungkinan mengalami proses evolusi yang berbeda di setiap lokasi di Indonesia.
Dikutip dari situs Caves, gua memiliki ekosistem yang sangat sensitif dan memiliki kerentanan tinggi. Keadaan ekosistem ini bergantung pada ekosistem yang ada di permukaanya, dengan kata lain permukaan gua juga harus tetap terjaga.
Selain itu, gua juga memiliki ekosistem yang sangat ekstrim, selain karena gelap total tanpa sinar matahari, lingkungan ini juga minim makanan. Kondisi tersebut menyebabkan hanya beberapa spesies yang mampu hidup, sehingga menjadi unik dan langka dengan tingkat endemintas yang tinggi.
Anggota Indonesian Speleological Society (ISS) juga menjelaskan bahwa kemampuan adaptasi itu juga bisa dilakukan oleh Stenasellus yang memiliki organ perasa seperti antena, tidak memiliki mata, serta pigmen tubuh mencolok dengan warna merah jambu. Menurutnya, organ ini mengindikasikan tingkat adaptasi tinggi di lingkungan gua.
Cahyo bersama tim ISS, mahasiswa serta instansi peminat lingkungan lainnya juga melakukan pemantauan selama satu tahun di Gua Cikarae untuk mengamati perilaku serta interaksi yang dilakukan Stenasellus sp, pada 2018 lalu.
Hasilnya, mereka menemukan 5 hingga 7 individu Stenasellus sp di setiap. Bahkan, jumlahnya lebih sedikit lagi di beberapa titik lainnya. Sedangkan dalam satu tahun pengamatan, jumlah total individu ini tidak pernah melebihi 60 individu.
Menurutnya, Stenasellus sp lebih sulit ditemukan saat musim kemarau dan cenderung menyebar saat penghujan tiba. Ia membuat hipotesis bahwa ketika kemarau, Stenasellus sp masuk ke substrat-substrat lumpur di lantai atau celah-celah kecil gua.
“Sedangkan saat musim penghujan, jumlah mereka kembali seperti semula dan menyebar, karena banyaknya kolam-kolam kecil yang terisi air. Jenis ini memakan protozoa, atau bakteri di dasar kolam tempat mereka hidup,” jelasnya.
Selain di Jawa, Stenasellus sp juga ditemukan di Kalimantan, seperti di Pegunungan Muller, tepatnya di Tumbang Topus. Di Sumatera, spesies ini ditemukan di Karst Lhoknga (pesisir barat Aceh Besar), Karst Ngalau Indah (Payakumbuh/Sumatera Barat), Karst Bukit Bulan atau Gua Mesiu (Sarolangun/Jambi), dan di Gua Putri (Padang Bindu/Sumatera Selatan).