Akibat Penambangan Pasir Laut, Nelayan Kodingareng Merugi Hingga Rp80,4 Miliar

  • Bagikan
Nelayan Pulau Kodingareng menolak kapal penambang pasir beroperasi. Dok. Walhi Sulsel

Mediatani – Nelayan di Pulau Kodingareng mengalami kerugian akibat adanya proyek penambangan pasir laut di perairan Spermonde. Selain itu, hasil riset yang dilakukan oleh Koalisi Save Spermonde (KSS) ini mengungkapkan bahwa aktifitas tersebut juga akan merusak ekosistem laut.

Berdasarkan hasil penelusuran, penambangan yang dilakukan untuk proyek reklamasi pelabuhan Makassar New Port (MNP) telah melumpuhkan perekonomian masyarakat nelayan Kodingareng. Pasalnya, tambang pasir tersebut telah merusak habitat laut sehingga berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan yang menurun drastis.

Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin saat ekspos hasil riset yang ditayangkan secara virtual, Selasa (9/3/2021). Bahkan, menurutnya, saat ini nelayan beserta keluarganya mengalami krisis keuangan hingga tidak mampu membeli kebutuhan pokok.

Amin mengungkapkan, tambang pasir yang mengakibatkan kerugian nelayan itu disebabkan karena air laut menjadi keruh akibat sebaran sedimen hasil kerukan pasir pada terumbu karang. Padahal, diketahui bahwa terumbu karang merupakan habitat berbagai organisme laut, seperti ikan.

Karena aktivitas penambangan tersebut, masyarakat mengalami kerugian yang cukup banyak. Sejak kurang lebih 257 hari kapal penambang pasir tersebut beraktivitas, Amin menyebut sekitar seribuan nelayan Kodingareng mengalami kerugian yang mencapai Rp80,4 miliar.

Angka tersebut ditaksir dari hasil tangkapan nelayan yang menurun. Amin juga merincikan kerugian yang dialami nelayan pancing yang sebanyak Rp200 ribu per hari, kemudian nelayan jaring sebanyak Rp1,4 juta per hari. Menurutnya, kerugian itu besarnya sangat luar biasa jika dibandingkan dengan upaya ganti rugi yang ditawarkan pihak penambang selama ini.

“Itu baru kita hitung sejak kapal beroperasi sampai dihentikan sementara. Kita belum hitung dari kapal dihentikan sampai sekarang ini,” ujar Amin dilansir dari IDN Times Sulsel, Selasa, (9/3).

Amin juga menyebutkan, selain mengalami penurunan pendapatan akibat rusaknya wilayah tangkap, sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau juga merasa takut atas ancaman kriminalisasi dari oknum kepolisian.

“Bukan hanya itu, perempuan juga mengalami kesulitan untuk akses pangan. Mereka harus utang sana sini untuk menutupi kebutuhan,” ungkapnya.

Perubahan besar di dasar laut

Selain membuat rugi masyarakat nelayan, menurutnya juga terjadi perubahan signifikan di dasar laut akibat adanya aktifitas tambang pasir tersebut. Perubahan yang terjadi itu telah mengakibatkan pola arus dan gelombang menjadi lebih besar, sehingga membuat bibir pantai sekitar mengalami abrasi.

Selain itu, populasi ikan di sekitar perairan Spermonde juga menurun akibat adanya peningkatan sedimen yang menekan dan merusak ekosistem terumbu karang. Kondisi itu terutama terjadi di wilayah Coppong, yang merupakan wilayah tangkap nelayan.

“Padahal (wilayah) itu merupakan zona tangkap utama bagi ribuan nelayan, tidak hanya yang di Pulau Kodingareng, tetapi juga nelayan di pulau-pulau kecil lainnya,” terang Amin.

Meski aktivitas penambangan tersebut telah berhenti dilakukan, namun nelayan masih tetap merasa kesulitan untuk pergi melaut. Terlebih, hasil tangkapan nelayan masih belum kembali normal seperti sebelum adanya aktifitas penambangan.

“Sekarang kondisi di Copong sudah berubah sejak kapal tambang masuk (beroperasi). Wilayah tangkapan ikan sekitar Copong selalu keruh seperti air cucian beras. Kabur, kami susah melihat. Kami susah dapatkan hasil tangkapan seperti dulu,” kata Aswin, salah satu nelayan Pulau Kodingareng yang berjuang menolak adanya tambang pasir.

Perwakilan kelompok perjuangan perempuan Kodingareng, Jumiati menambahkan bahwa dampak lain yang dirasakan akibat penambangan itu adalah renggangnya hubungan silaturahmi dengan tetangga serta keluarga.

“Biasanya kita harus utang ke tetangga, karena hasil tangkapan sudah tidak ada. Belum lagi bertengkar biasa untuk beli bensin kapal (perahu) sama uang jajan anak-anak,” ungkapnya.

KSS selama ini terus mendukung upaya masyarakat nelayan Kodingareng yang mendesak pemerintah untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir secara permanen di wilayah Kepulauan Spermonde.

Sementara itu, perwakilan Ocean Campaign Leader Greenpeace Southeast Asia, Arifsyah Nasution mengatakan bahwa Pemerintah harus melindungi hak azasi masyarakat pesisir dan ekosistem laut serta menegakkan hukum bagi yang telah merusak lingkungan.

“Pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap segala kerugian sosial, lingkungan dan ekonomi yang telah dialami oleh masyarakat setempat akibat kegiatan tambang pasir laut dan reklamasi proyek MNP,” kata Arifsyah.

  • Bagikan