Analisis dan alternatif solusi/penanganan Tanaman Kelor
Komposisi kandungan kimia dan mineral pada daun kelor kering berdasarkan hasil penelitian Moyo et al. (2011) yang dipublikasikan dalam African Journal of Biotechnology 10(60): 12925-12933, menunjukkan bahwa kelor merupakan sumber nutrisi yang sangat lengkap, sangat alami yang sungguh-sungguh nyata mudah dan murah diperoleh bagi masyarakat pedesaan.
Hal ini tentunya jika dan hanya jika, apabila masyarakat dapat memahami dan menyadari akan potensi kelor sebagai sumber super nutrisi. Kandungan nutrisi daun kelor kering, moisture 9,5 %; protein 30,3 %; fat 6,5 %; ash 7,6 %; neutral detergent fibre 11,4 %; acid detergent fibre 8,5 %; acid detergent cellulose 4 %; tannins 3,1 % dan total polyphenols 2 %. Elemen mineral makro daun kelor kering (%) mengandung: calsium 3,6 %; fospor 0,3 %; magnesium 0,5 %; potassium 1,5 %; sodium 0,2 %; sulfur 0,6 %. Sedangkan jenis mineral elemen mikro (mg/kg) mengandung zink 31; tembaga 8,3; mangan 86,8; zat besi 490; solenium 363; dan boron 49,9 (Moyo et al.2011).
Doeer dan Cameron (2005) menyatakan bahwa kandungan nutrisi kelor sangat baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ibu hamil dan balita. Dalam memenuhi kebutuhan nutrisi ibu hamil maka ibu hamil cukup mengkonsumsi serbuk daun kelor sebanyak 6 kali sehari dengan dosis 50 gram setiap konsumsi.
Sementara, untuk memenuhi kebutuhan nutrisi balita diperlukan 25 gram serbuk daun kelor setiap kali konsumsi sebanyak 3 kali per hari. Pengetahuan menganai hal ini belum dimiliki masyarakat, sehingga perlu dilakukan upaya sosialisasi mengenai manfaat tersebut kepada masayarakat sehingga masyarakat menyadari kelor penting bagi kesehatan ibu dan anak.
Berdasarkan penelitian (Desiawati, 2013) pada masyarakat desa Cikarawang, salah satu desa lingkar kampus IPB, dapat diketahui pengetahuan masyarakat desa mengenai kelor hanya sebatas pada pemanfaatan yang bersifat sederhana, hanya 12 % dari total penduduk desa Cikarawang yang mengetahui dan memanfaatkan kelor sebagai bahan pangan.
Pengetahuan itu antara lain masyarakat mengetahui bahwa kelor dapat digunakan sebagai bahan pangan, ritual adat, dan obat. Adapun sumber pengetahuan ini adalah didapatkan oleh masyarakat desa secara turun-temurun dari nenek moyang. Belum pernah pihak akademisi, peneliti atau pemerintah yang melakukan sosialisasi tentang manfaat kelor di masyarakat desa ini.
Berdasarkan hasil inventarisasi potensi tanaman kelor di desa Cikarawang (Desiawati, 2013) diketahui bahwa kelor menyebar hampir di seluruh wilayah desa, tetapi jumlah individunya sangat kecil. Pohon kelor hanya dimiliki oleh 24 KK atau sebesar 1,14% dari total KK di desa tersebut, yaitu sebanyak hanya 65 individu pohon kelor atau hanya kerapatannya hanya 0.40 individu pohon per ha.
Keberadaan kelor di desa Cikarawang ini masih sangat minim karena minat yang kurang untuk menanam kelor. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan akan manfaat kelor yang begitu besar, seperti yang ditunjukkan dalam fakta hasil penelitian yang disebutkan pada bab terdahuliu.
Sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang bersifat sistematis dan nasional mengenai gerakan penanaman dan pemanfaatan kelor (moringa oleifera lam.) untuk mengatasi malnutrisi bagi rakyat di indonesia. Padahal potensi kesesuaian tempat tumbuh kelor dan manfaatnya sangatlah besar di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Kelor sepatutnya menjadi komoditi rakyat yang penting dan strategis setelah padi dan sumber pangan karbo-hidrat lainnya.
Solusi untuk penanganan konservasi kelor di kampung seluruh Indonesia adalah membuat dan melaksanakan kebijakan nasional melalui Gerakan Nasional Penanaman dan Pemanfaatan Kelor (moringa oleifera lam.) di Seluruh Kampung di Indonesia. Kampung digunakan sebagai unit terkecil wilayah administarsi pedesaan yang merupakan pemukiman masyarakat yang pada umumnya terbentuk secara alami dan telah menjadi satu kesatuan antara manusia, sosio-budayanya dengan sumberdaya keanekaragaman hayati lokal, ekosistem dan lensekap bentang alamnya.
Pemerintah bersama perguruan tinggi (akademisi, dan mahasiswa), peneliti, LSM dan masyarakat harus bersatu padu melakukan pengembangan kampung konservasi kelor (Moringa oleifera lam.) di seluruh kampung di Indonesia, melalui gerakan nasional penanaman dan pemanfaatan dalam rangka mendukung gerakan nasional sadar gizi dan mengatasi malnutrisi di Indonesia.
Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan bersama akademisi, mahasiswa dan masyarakat dapat menyediakan dan menanam bibit kelor dalam jumlah yang mencukupi pada setiap pekarangan dan lahan-lahan negara dan masyarakat di pedesaan. Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Informasi dan Komunikasi dapat membuat materi dan media pendidikan, latihan dan penyuluhan yang efektif bagi masyarakat secara efektif, efisien dan berkesinambungan dalam pemanfaatan dan pengolahan produk-produk kelor bagi kesejahteraan rakyat semua.